Ilmu dan Pemahaman

iklan banner
[recent]

Sabtu, 17 Juni 2023

Manuskrip Al-Qur'an




Manuskrip Al-Qur'an merujuk pada salinan atau naskah Al-Qur'an yang ditulis dalam aksara Arab sejak masa awal penulisan Al-Qur'an. Ini termasuk naskah-naskah yang diproduksi pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW dan periode sesudahnya.


Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an tersebut berbeda dalam gaya penulisan, dekorasi, dan karakteristik lainnya. Ada beberapa manuskrip terkenal yang menjadi penanda penting dalam sejarah penulisan Al-Qur'an, seperti Manuskrip Samarqand, Manuskrip Topkapi, dan Manuskrip Kairo. Masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri.


Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an awal ditulis dengan tangan, menggunakan tinta dan perkamen atau kertas sebagai media. Pada saat itu, Al-Qur'an ditransmisikan secara lisan dan tertulis. Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, para pengikutnya mencatat wahyu-wahyu yang diterima dalam bentuk tulisan. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, penulisan dan pengumpulan Al-Qur'an menjadi lebih sistematis.


Salah satu aspek penting dalam penulisan Al-Qur'an adalah bacaan atau cara membaca teks Arab yang tertulis. Ada beberapa gaya bacaan yang berbeda yang berkembang di berbagai daerah di masa lalu. Contoh yang paling terkenal adalah bacaan Hafs dan Warsh, yang masih digunakan hingga saat ini.


Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an ini memiliki nilai historis dan budaya yang sangat tinggi. Mereka memberikan wawasan tentang sejarah penulisan dan transmisi Al-Qur'an serta memainkan peran penting dalam penelitian akademik Al-Qur'an. Penelitian tentang manuskrip-manuskrip Al-Qur'an telah membantu memahami evolusi teks dan variasi bacaan Al-Qur'an selama berabad-abad.


Selain itu, manuskrip-manuskrip ini juga mencerminkan seni kaligrafi Arab yang indah dan estetika Islam. Mereka sering dihiasi dengan dekorasi dan ilustrasi yang rumit, menunjukkan penghormatan terhadap teks suci Al-Qur'an. Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya Islam dan karya seni yang dihormati dan dijaga dengan baik oleh masyarakat Muslim di seluruh dunia.


Manuskrip Al-Qur'an merujuk kepada salinan atau naskah-naskah tulisan Al-Qur'an yang ada sejak masa awal penulisan Al-Qur'an. Al-Qur'an sendiri adalah kitab suci dalam agama Islam yang dianggap sebagai wahyu Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril (Gabriel). 


Al-Qur'an secara tradisional disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi sejak masa Nabi Muhammad. Namun, pada masa kehidupan Nabi, tulisan-tulisan Al-Qur'an juga mulai dibuat. Pada awalnya, Al-Qur'an ditulis di berbagai bahan yang tersedia seperti tulang, kulit hewan, daun palem, atau potongan kayu. Tulisan-tulisan ini kemudian dikumpulkan dan disatukan dalam bentuk manuskrip.


Salah satu manuskrip Al-Qur'an yang paling terkenal adalah mushaf yang disusun pada masa khalifah Abu Bakar dan dikenal sebagai "Mushaf Abu Bakar". Mushaf Abu Bakar terdiri dari lembaran-lembaran kulit hewan yang ditulisi dengan tinta. Kemudian, pada masa khalifah Utsman bin Affan, dilakukan pengumpulan dan penyusunan kembali tulisan-tulisan Al-Qur'an menjadi satu mushaf standar yang dikenal sebagai "Mushaf Utsman". Mushaf Utsman menjadi dasar bagi mushaf-mushaf Al-Qur'an yang digunakan hingga saat ini.


Selain Mushaf Abu Bakar dan Mushaf Utsman, ada beberapa manuskrip Al-Qur'an penting lainnya yang ditemukan dalam penelitian sejarah dan arkeologi. Beberapa manuskrip tersebut adalah Mushaf Samarkand, Mushaf Madinah, Mushaf Sana'a, dan Mushaf Kufi. Setiap manuskrip ini memiliki ciri khas dan keunikan tertentu dalam gaya penulisan, dekorasi, atau perbedaan dalam pembacaan teks Al-Qur'an.


Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an ini sangat berharga karena memberikan wawasan tentang sejarah penulisan Al-Qur'an, perkembangan tulisan Arab, dan variasi bacaan Al-Qur'an pada masa lalu. Para ahli agama, sejarah, dan arkeologi telah mempelajari manuskrip-manuskrip ini untuk memahami lebih lanjut tentang teks dan konteks Al-Qur'an serta sejarah Islam pada umumnya.


Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an yang digunakan oleh umat Islam saat ini adalah teks yang sama seperti yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip awal tersebut. Al-Qur'an telah menjadi kitab suci yang dihafal oleh jutaan orang dan disalin dalam berbagai bentuk manuskrip di seluruh dunia.


Referensi :


  1. Azra, Azyumardi. (2006). "The Transmission of Islamic Texts: The Case of the Qur’an in Southeast Asia." Archipel, Volume 71, pp. 77-93.

  2. Harun, M. Nasir. (2003). "Perkembangan dan Fungsi Naskah Al-Qur'an di Indonesia." Studia Islamika, Volume 10, No. 2, pp. 1-57.

  3. Luthfi, A. Syarifuddin. (2003). "The 'Mushaf Aceh' Manuscript." Archipel, Volume 66, pp. 99-130.

  4. Tsugitaka, Sato. (2006). "The Role of Malay-Makassarese Manuscripts in the Construction of Malay National Identity." Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Volume 162, No. 3, pp. 365-386.


Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Islam (PDIKI) - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia: PDIKI menyediakan berbagai informasi terkait kebudayaan Islam di Indonesia, termasuk tentang manuskrip Al-Qur'an. Anda dapat mengunjungi situs web resmi mereka di https://www.pdiki.go.id/ untuk menemukan publikasi dan informasi terkait.

Museum Nasional Indonesia: Museum Nasional di Jakarta memiliki koleksi manuskrip Al-Qur'an yang penting. Anda dapat mengunjungi museum tersebut atau menghubungi mereka untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang koleksi manuskrip Al-Qur'an yang mereka miliki. Situs web mereka adalah https://museumnasional.or.id/.

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Perpustakaan Nasional memiliki berbagai koleksi manuskrip yang berharga, termasuk manuskrip Al-Qur'an. Anda dapat mengunjungi situs web mereka di https://www.perpusnas.go.id/ atau menghubungi mereka langsung untuk mencari informasi lebih lanjut tentang koleksi manuskrip Al-Qur'an yang mereka miliki.










Kodifikasi al-Qur'an ortografi

 


 

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi adalah proses standarisasi penulisan teks al-Qur'an dalam hal ejaan dan tata bahasa. Tujuan utama dari kodifikasi ini adalah untuk memastikan konsistensi dan keseragaman dalam penulisan al-Qur'an dalam berbagai naskah dan edisi.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi dimulai pada zaman khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 Masehi. Pada masa itu, tulisan-tulisan al-Qur'an tersebar di berbagai wilayah dengan variasi dalam ejaan dan tata bahasa. Untuk mencegah perbedaan yang tidak diinginkan dalam pemahaman dan bacaan al-Qur'an, Khalifah Utsman memerintahkan agar satu versi standar disusun.

 

Dalam proses kodifikasi, para ulama yang terampil dalam bahasa Arab bekerja sama untuk menetapkan standar ejaan dan tata bahasa yang harus diikuti dalam penulisan al-Qur'an. Standar ini berfokus pada penggunaan huruf-huruf Arab yang tepat, tanda baca, tata letak ayat, dan prinsip-prinsip tajwid (ilmu mengenai cara membaca al-Qur'an dengan benar).

 

Hasil dari kodifikasi al-Qur'an ortografi adalah mushaf Utsmani, yaitu naskah al-Qur'an yang mengikuti aturan-aturan ejaan dan tata bahasa yang telah ditetapkan. Mushaf Utsmani telah menjadi standar penulisan al-Qur'an sejak saat itu, dan menjadi acuan untuk produksi dan replikasi al-Qur'an di seluruh dunia.

 

Meskipun ada variasi regional dalam penulisan al-Qur'an, terutama dalam hal penandaan tajwid, ejaan standar yang digunakan dalam mushaf Utsmani telah menjadi dasar bagi sebagian besar edisi dan reproduksi al-Qur'an saat ini.

 

Dalam kodifikasi al-Qur'an ortografi, penting untuk memahami bahwa tujuannya adalah menjaga keseragaman dan konsistensi teks al-Qur'an dalam bentuk tertulis. Namun, saat membaca dan mempelajari al-Qur'an, juga penting untuk merujuk kepada tafsir, hadis, dan penjelasan ilmiah yang memperkaya pemahaman konteks dan makna dari ayat-ayat yang terdapat dalam teks al-Qur'an.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi adalah proses standarisasi penulisan dan ejaan yang digunakan dalam penulisan teks al-Qur'an. Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk menciptakan konsistensi dalam penulisan al-Qur'an dalam bahasa Arab agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca dari berbagai latar belakang.

 

Pada awalnya, al-Qur'an ditulis dalam bentuk naskah tangan tanpa aturan penulisan yang konsisten. Namun, setelah melalui proses kodifikasi, al-Qur'an diberi aturan penulisan yang baku untuk memastikan keutuhan dan kekonsistenan teks suci tersebut.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi dilakukan dengan mengatur ejaan dan penggunaan tanda baca dalam teks al-Qur'an. Salah satu contoh penting dalam kodifikasi ini adalah penentuan tanda baca untuk memisahkan antara ayat-ayat al-Qur'an, seperti tanda "بسم الله الرحمن الرحيم" (Bismillahirrahmanirrahim) yang biasa ditemukan pada awal surah (bab) dalam al-Qur'an.

 

Selain itu, kodifikasi al-Qur'an ortografi juga mencakup pengaturan ejaan huruf-huruf Arab yang khas dan penggunaan tanda harakat (tanda diakritik) untuk membantu membaca dan memahami teks al-Qur'an dengan lebih baik. Tanda harakat melibatkan penambahan titik atau garis kecil pada huruf-huruf Arab untuk mengindikasikan bunyi vokal yang tepat dalam pelafalan kata.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi berperan penting dalam menjaga keaslian dan kesakralan al-Qur'an, serta memastikan bahwa teks suci tersebut dapat diakses dengan benar oleh umat Muslim di seluruh dunia. Banyak lembaga dan organisasi yang terlibat dalam proses kodifikasi ini, termasuk Dewan Penyusunan Mushaf al-Qur'an yang dibentuk oleh otoritas keagamaan untuk mengawasi pengadaan Mushaf al-Qur'an yang baku dan sah.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi mengacu pada pengembangan aturan dan pedoman yang konsisten untuk mengeja dan menulis kata-kata dalam al-Qur'an. Tujuan dari kodifikasi ortografi ini adalah untuk memfasilitasi pemahaman dan bacaan yang konsisten dari teks suci dalam bahasa Arab.

 

Kodifikasi al-Qur'an ortografi dimulai pada zaman setelah Nabi Muhammad wafat, ketika tulisan-tulisan al-Qur'an mulai disalin dan disebarkan ke berbagai wilayah. Selama proses penyalinan, variasi dalam penggunaan huruf, tanda baca, dan ejaan mulai muncul. Hal ini menyebabkan kebingungan dan perbedaan dalam cara orang membaca dan mengeja al-Qur'an.

 

Sebagai upaya untuk mengatasi variasi tersebut, ulama dan sarjana Muslim kemudian melakukan kodifikasi ortografi al-Qur'an. Salah satu upaya pertama dalam hal ini adalah sistem ejaan yang dikembangkan oleh Abul Aswad ad-Du'ali pada abad ke-7. Sistem ejaan ini mencakup penggunaan tanda baca dan tanda harakat (tanda diakritik) untuk mengindikasikan pengucapan yang benar.

 

Selanjutnya, pada abad ke-9, ulama seperti Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi mengembangkan sistem ejaan yang lebih rinci dan terperinci. Sistem ini melibatkan aturan-aturan yang lebih spesifik untuk penggunaan huruf dan tanda baca, serta penambahan tanda harakat untuk membantu pengucapan yang akurat.

 

Seiring berjalannya waktu, berbagai bentuk kodifikasi ortografi lainnya juga muncul. Salah satu yang terkenal adalah "Orthography of the East" (I'rab al-Mashriq) yang dikembangkan oleh Ahmad Ibn Hajr Al-Asqalani pada abad ke-15. Sistem ini memperkenalkan penggunaan tanda-tanda diakritik tambahan yang membantu dalam analisis gramatikal dan pelafalan.

 

Pada umumnya, kodifikasi al-Qur'an ortografi bertujuan untuk menjaga keaslian dan keotentikan teks al-Qur'an, sambil mempermudah pembacaan dan pemahaman bagi para pembaca modern. Meskipun ada variasi ejaan yang masih ada di antara berbagai edisi cetak al-Qur'an, namun prinsip-prinsip kodifikasi telah memberikan pedoman yang konsisten untuk mengeja dan membaca al-Qur'an dalam bahasa Arab.

 

Berikut adalah contoh-contoh kodifikasi al-Qur'an ortografi yang umum digunakan dalam edisi-edisi cetak al-Qur'an modern:

 

1. Penggunaan Harakat (Tanda Diakritik):

   - Fathah (ً): tanda harakat pendek yang menunjukkan bunyi "a".

   - Kasrah (ٍ): tanda harakat pendek yang menunjukkan bunyi "i".

   - Dammah (ٌ): tanda harakat pendek yang menunjukkan bunyi "u".

   - Sukun (ْ): tanda yang menunjukkan bahwa huruf tidak memiliki harakat vokal.

 

2. Penggunaan Huruf:

   - Huruf Hamzah (ء): huruf glotal yang dapat muncul di awal kata atau di tengah kata.

   - Huruf Alif (ا): huruf vokal "a" panjang.

   - Huruf Ba (ب), Ta (ت), Tha (ث), dan seterusnya: huruf konsonan yang digunakan dalam bahasa Arab.

   - Huruf Alif Lam (ال): kombinasi huruf alif dan lam yang digunakan sebagai kata depan definitif "the".

 

3. Penulisan Nama Allah:

   - Allah (الله): Nama Allah ditulis dengan huruf alif, lam, lam, dan ha yang disusul oleh sukun.

 

4. Tanda Baca:

   - Ayat (آية): tanda yang menunjukkan akhir dari satu ayat dalam al-Qur'an.

   - Ruku' (ركوع): tanda yang menunjukkan akhir dari satu bagian ruku' dalam salat.

   - Sajdah (سجدة): tanda yang menunjukkan posisi sujud yang harus dilakukan saat membaca al-Qur'an.

 

Perlu dicatat bahwa ada variasi dalam ejaan dan tanda baca yang mungkin terjadi di antara berbagai edisi cetak al-Qur'an. Namun, prinsip-prinsip umum ini memberikan panduan yang konsisten dalam mengeja dan membaca teks al-Qur'an dalam bahasa Arab.

Definisi ʻIlm al-Bayan dan Persoalan-persoalan Pokok yang Dikajinya (Tasybih, Isti‘arah, Haqiqah dan Majaz, Kinayah, Ta‘ridh)

 

 


ʻIlm al-Bayan adalah cabang ilmu dalam ilmu balaghah (retorika) dalam tradisi klasik penulisan Arab yang berfokus pada analisis dan penjelasan gaya bahasa, figur retoris, dan keindahan bahasa dalam teks-teks sastra, termasuk Al-Qur'an dan puisi. Tujuan utama ʻIlm al-Bayan adalah untuk memahami dan menghargai kekayaan ekspresi bahasa serta efek retorika yang terkandung dalam teks.

 

Persoalan-persoalan pokok yang dikaji dalam ʻIlm al-Bayan meliputi:

 

1. Tasybih: Tasybih adalah figur retoris yang menggunakan perumpamaan atau perbandingan untuk menjelaskan suatu konsep atau objek dengan menggunakan kata-kata yang mirip atau serupa. Dalam ʻIlm al-Bayan, tasybih menjadi fokus kajian dalam memahami dan menghargai penggunaan perumpamaan dalam teks sastra.

 

2. Isti‘arah: Isti‘arah adalah penggunaan kata-kata kiasan atau makna khusus dalam konteks tertentu. Biasanya, isti‘arah digunakan untuk memberikan makna yang lebih mendalam atau efek retorika yang lebih kuat. Dalam ʻIlm al-Bayan, isti‘arah menjadi perhatian dalam menganalisis dan menginterpretasikan penggunaan kata-kata kiasan dalam teks.

 

3. Haqiqah dan Majaz: Haqiqah adalah makna harfiah atau sesuai dengan arti kata-kata secara harfiah, sementara Majaz adalah makna kiasan atau figuratif. Dalam ʻIlm al-Bayan, persoalan ini membahas perbedaan antara haqiqah dan majaz, serta bagaimana penggunaannya dapat menciptakan efek bahasa dan retorika yang berbeda.

 

4. Kinayah: Kinayah adalah penggunaan kata-kata yang tidak secara langsung merujuk pada objek atau konsep yang dimaksud, tetapi menggunakan kata-kata lain yang memiliki hubungan terkait. Kinayah sering kali digunakan untuk menyampaikan makna secara halus atau untuk menciptakan efek retorika. Dalam ʻIlm al-Bayan, kinayah menjadi fokus kajian untuk memahami penggunaan kata-kata yang ambigu atau memiliki makna tersembunyi dalam teks.

 

5. Ta‘ridh: Ta‘ridh adalah penggunaan kata-kata dengan arti ganda atau banyak makna yang disengaja untuk menciptakan efek retorika, seperti permainan kata, ironi, atau lelucon. Dalam ʻIlm al-Bayan, ta‘ridh menjadi perhatian dalam menganalisis dan menghargai penggunaan kata-kata dengan arti ganda dalam teks sastra.

 

Melalui analisis dan pemahaman terhadap persoalan-persoalan pokok dalam ʻIlm al-Bayan, pembaca dapat menghargai keindahan bahasa, efek retorika, dan lapisan makna yang terkandung dalam teks sastra.

 

Berikut adalah beberapa contoh penerapan teori-teori dalam ʻIlm al-Bayan dalam penafsiran Al-Qur'an:

 

1. Tasybih: Dalam Al-Qur'an, terdapat penggunaan tasybih untuk menjelaskan konsep-konsep yang sulit dipahami dengan menggunakan perumpamaan yang lebih sederhana. Misalnya, dalam Surat An-Nur (24:35), Allah menyamakan cahaya-Nya dengan sebuah misbah (lampu) yang ada di dalam kaca yang bercahaya. Perumpamaan ini membantu kita memahami sifat cahaya Allah dengan mengaitkannya dengan objek yang lebih familier.

 

2. Isti‘arah: Isti‘arah sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk memberikan makna khusus atau efek retorika yang kuat. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah (2:45), Allah menggambarkan orang-orang yang meninggalkan shalat sebagai "seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal." Isti‘arah ini memberikan makna kiasan bahwa mereka yang tidak melaksanakan shalat adalah seperti keledai yang membawa beban berat.

 

3. Haqiqah dan Majaz: Dalam penafsiran Al-Qur'an, penting untuk memahami perbedaan antara haqiqah dan majaz. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah (2:187), Allah berfirman tentang hubungan suami-istri di bulan Ramadhan, "Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka." Haqiqah dari ayat ini adalah bahwa suami dan istri saling melengkapi dan melindungi satu sama lain seperti pakaian. Namun, majaznya adalah bahwa suami dan istri memiliki hubungan yang erat dan saling melindungi seperti pakaian yang melekat erat pada tubuh.

 

4. Kinayah: Dalam Al-Qur'an, terdapat penggunaan kinayah untuk menyampaikan makna dengan cara yang halus atau tersembunyi. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah (2:187), Allah berfirman tentang ibadah puasa, "Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam." Kinayah ini mengacu pada waktu fajar ketika benang putih dari benang hitam dapat dibedakan secara visual. Dengan menggunakan kinayah, Allah menginstruksikan umat Islam untuk berhenti makan dan minum saat fajar, tanpa menyebutkan secara langsung kata "fajar".

 

5. Ta‘ridh: Al-Qur'an juga menggunakan ta‘ridh, yaitu penggunaan kata-kata dengan arti ganda atau banyak makna untuk menciptakan efek retorika. Misalnya, dalam Surat Al-Mu'minun (23:91), Allah berfirman, "Tidaklah Allah memperanakkan anak-anak, dan tidak ada Tuhan selain-Nya." Di sini, ta‘ridh terletak pada penggunaan kata "memperanakkan" yang juga bisa diartikan sebagai "melahirkan". Ayat ini menyampaikan makna bahwa Allah tidak memiliki keturunan, dan juga menyinggung keyakinan orang-orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki anak.

 

Dalam  penafsiran Al-Qur'an, pemahaman teori-teori dalam ʻIlm al-Bayan membantu kita menghargai keindahan bahasa, figur retoris, dan penggunaan gaya bahasa yang terkandung dalam teks suci tersebut.

Definisi ʻIlm al-Maʻani dan Persoalan-persoalan Pokok yang Dikajinya (Ijaz dan Ithnab, Washl dan Fashl, I‘tiradh dan Iltifat, Fawashil al-Ayat)

 



 

ʻIlm al-Maʻani adalah salah satu cabang ilmu dalam ilmu balaghah (retorika) dalam tradisi klasik penulisan Arab. Ini adalah studi tentang makna-makna dan gaya bahasa yang terkandung dalam kalimat-kalimat dan ayat-ayat Al-Qur'an, serta cara-cara penggunaannya untuk mencapai tujuan komunikatif tertentu.

 

Persoalan-persoalan pokok yang dikaji dalam ʻIlm al-Maʻani meliputi:

 

1. Ijaz dan Ithnab: Ijaz adalah gaya bahasa yang singkat dan padat, sementara Ithnab adalah gaya bahasa yang panjang dan berbelit-belit. Dalam kajian ʻIlm al-Maʻani, persoalan ini berkaitan dengan penggunaan gaya bahasa yang tepat untuk mencapai efek retorika yang diinginkan.

 

2. Washl dan Fashl: Washl adalah pengulangan kata-kata atau frasa-frasa dalam kalimat atau ayat untuk memberikan kesan dan penekanan, sementara Fashl adalah penghindaran pengulangan dan penggunaan variasi kata-kata. Dalam ʻIlm al-Maʻani, ini menjadi persoalan penting dalam mempelajari kekuatan dan efek pengulangan dalam bahasa.

 

3. I‘tiradh dan Iltifat: I‘tiradh adalah perubahan atau pemotongan subjek atau predikat dalam kalimat, sementara Iltifat adalah peralihan tiba-tiba dalam pembicaraan atau penulisan dari satu subjek ke subjek lain. Dalam ʻIlm al-Maʻani, persoalan ini membahas bagaimana perubahan struktur kalimat atau peralihan bahasa dapat menciptakan efek retorika tertentu.

 

4. Fawashil al-Ayat: Fawashil al-Ayat adalah pembedaan atau pemisahan kata-kata atau frasa-frasa dalam ayat-ayat Al-Qur'an dengan tanda baca dan tanda-tanda lainnya. Dalam ʻIlm al-Maʻani, ini merupakan persoalan yang dikaji untuk memahami struktur dan makna ayat-ayat Al-Qur'an serta implikasi retorikanya.

 

Semua persoalan tersebut merupakan bagian penting dalam memahami dan menginterpretasikan teks-teks Al-Qur'an secara mendalam, serta dalam mengapresiasi keindahan bahasa dan retorika yang terkandung di dalamnya.

 

Berikut adalah contoh-contoh penggunaan persoalan-persoalan pokok dalam ʻIlm al-Maʻani:

 

1. Ijaz dan Ithnab:

   - Contoh Ijaz: "Qur'an adalah cahaya hidup kita." Kalimat ini menggunakan gaya bahasa yang singkat dan padat untuk menyampaikan pesan bahwa Al-Qur'an merupakan sumber penerangan dalam kehidupan kita.

   - Contoh Ithnab: "Hanya mereka yang menjalankan ketaatan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dengan tulus ikhlas yang akan mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat." Kalimat ini menggunakan gaya bahasa yang panjang dan berbelit-belit untuk menggambarkan kondisi yang harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan sejati.

 

2. Washl dan Fashl:

   - Contoh Washl: "Dia berjalan, berlari, dan melompat kegirangan." Pengulangan kata-kata "berjalan," "berlari," dan "melompat" memberikan kesan gerakan yang dinamis dan kegirangan yang kuat.

   - Contoh Fashl: "Dia berjalan dengan gesit, meluncur seperti angin, tak terhenti oleh rintangan apa pun." Penghindaran pengulangan kata-kata dan penggunaan variasi frasa "berjalan dengan gesit," "meluncur seperti angin," dan "tak terhenti oleh rintangan apa pun" menciptakan variasi dan memperkuat deskripsi aksi yang dilakukan.

 

3. I‘tiradh dan Iltifat:

   - Contoh I‘tiradh: "Bola bergulir di lapangan, pemain berlari, gol!" Kalimat ini menunjukkan perubahan tiba-tiba dalam subjek, dari objek (bola) menjadi pelaku (pemain) dan kembali lagi ke objek (gol), menciptakan efek dinamis dan kejutan.

   - Contoh Iltifat: "Ya Allah, Dzat yang Maha Pengasih, ampunilah hamba-hamba-Mu yang lemah ini." Dalam kalimat ini, terjadi peralihan tiba-tiba dari panggilan langsung kepada Allah ("Ya Allah") ke penggambaran Allah sebagai "Dzat yang Maha Pengasih" dan kemudian kembali ke panggilan langsung kepada-Nya. Hal ini memberikan efek penghormatan dan keagungan.

 

4. Fawashil al-Ayat:

   - Contoh Fawashil al-Ayat: "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain." Ayat ini memisahkan kata-kata "orang-orang yang beriman" dengan tanda koma untuk menunjukkan keterkaitan dan saling melindungi antar sesama yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.

 

Dalam contoh-contoh di atas, terlihat bagaimana persoalan-persoalan pokok dalam ʻIlm al-Maʻani digunakan untuk memperkaya bahasa, menciptakan efek retorika, dan menyampaikan pesan dengan cara yang efektif.

Jumat, 16 Juni 2023

KATA MUSYTARAK (AMBIGU/HOMONIM), HAKIKAT DAN MAJAZ/METAFORA, TIGA HAKIKAT BAGI MAKNA LAFADZ DALAM KAIDAH TAFSIR





Dalam kaidah tafsir, konsep kata musytarak (ambigu/homonim), hakikat, majaz/metafora, dan tiga hakikat bagi makna lafadz memiliki peran penting dalam memahami makna suatu ayat Al-Qur'an atau teks suci lainnya. Berikut adalah penjelasan mengenai penggunaan konsep-konsep ini dalam kaidah tafsir:

 

1. Kata Musytarak (Ambigu/Homonim):

Dalam tafsir, penggunaan kata musytarak atau homonim terkait dengan memahami kemungkinan makna ganda yang terkandung dalam suatu ayat atau lafadz. Ayat atau lafadz yang mengandung kata-kata musytarak dapat memiliki makna harfiah yang berbeda, dan tafsir harus mempertimbangkan semua kemungkinan tersebut dalam konteks ayat, konteks sejarah, serta kaidah bahasa Arab.

 

2. Hakikat:

Dalam tafsir, konsep hakikat berkaitan dengan upaya untuk memahami makna yang sebenarnya atau literal dari ayat atau lafadz. Tafsir berusaha untuk mengungkapkan makna harfiah yang terkandung dalam teks tersebut, dengan mempertimbangkan kaidah bahasa dan konteksnya. Pengungkapan hakikat ini penting untuk memahami dasar literal suatu ayat atau lafadz sebelum menjelajahi makna lainnya.

 

3. Majaz/Metafora:

Dalam kaidah tafsir, majaz atau metafora menjadi konsep yang relevan ketika tafsir berusaha untuk mengeksplorasi makna-makna kiasan atau non-literal dalam ayat atau lafadz. Metafora digunakan dalam teks suci untuk menyampaikan makna yang lebih dalam, abstrak, atau spiritual melalui perbandingan atau analogi. Tafsir harus mengidentifikasi penggunaan majaz dan mencari pemahaman tentang makna konseptual yang terkandung dalamnya.

 

4. Tiga Hakikat Bagi Makna Lafadz:

Dalam kaidah tafsir, ketika memeriksa makna lafadz, tiga hakikat berikut perlu diperhatikan:

 

   a. Makna Harfiah: Tafsir harus memperhatikan makna harfiah atau zhahir suatu lafadz. Ini melibatkan memahami arti yang muncul secara jelas berdasarkan penggunaan kata dalam bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya.

 

   b. Makna Teknis: Tafsir juga harus mempertimbangkan makna teknis atau istilah yang dikaitkan dengan suatu lafadz dalam konteks keilmuan atau agama tertentu. Ini melibatkan memahami penggunaan khusus atau definisi yang diberikan untuk kata tersebut dalam bidang yang relevan.

 

   c. Makna Maknawi: Tafsir juga harus menyelidiki makna maknawi atau makna konseptual yang melampaui makna harfiah. Ini melibatkan pemahaman tentang nilai-nilai moral, filosofis, atau spiritual yang terkandung dalam ayat atau lafadz, serta hubungannya dengan konteks teks dan ajaran agama secara keseluruhan.

 

Dalam

 

 kaidah tafsir, penerapan konsep-konsep ini membantu mencapai pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna ayat atau lafadz yang dikaji. Tafsir yang baik harus memperhatikan semua kemungkinan makna, baik yang harfiah maupun yang kiasan, dan mempertimbangkan konteks dan kaidah bahasa Arab untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.

 

 

Berikut adalah contoh-contoh dari masing-masing konsep dalam kaidah tafsir:

 

1. Kata Musytarak (Ambigu/Homonim):

Contoh ayat yang mengandung kata musytarak adalah Al-Qur'an Surah An-Nur (24:35):

 

"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus dan di dalamnya ada pelita besar."

 

Dalam ayat ini, kata "lubang" bisa memiliki dua makna yang mungkin. Dalam konteks ini, "lubang" dapat merujuk pada lubang dalam dinding atau batu yang gelap atau merujuk pada celah sempit yang tidak tembus cahaya. Penggunaan kata musytarak ini menambah kedalaman makna ayat dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.

 

2. Hakikat:

Contoh ayat yang menunjukkan pemahaman hakikat adalah Al-Qur'an Surah Al-Baqarah (2:183):

 

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

 

Dalam ayat ini, hakikat dari kata "puasa" adalah menahan diri dari makan, minum, dan aktivitas tertentu dari fajar hingga matahari terbenam. Hakikat puasa sebagai kewajiban dalam agama Islam adalah pemahaman literal yang mendasari praktik ibadah tersebut.

 

3. Majaz/Metafora:

Contoh ayat yang menggunakan majaz/metafora adalah Al-Qur'an Surah Al-Baqarah (2:187):

 

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka."

 

Dalam ayat ini, penggunaan majaz/metafora terdapat dalam ungkapan "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka". Ungkapan ini menggambarkan hubungan suami istri sebagai perlindungan, keintiman, dan saling melengkapi, seperti hubungan yang dimiliki oleh pakaian yang melindungi tubuh manusia. Metafora ini memberikan makna yang lebih dalam tentang hubungan suami istri.

 

4. Tiga Hakikat Bagi Makna Lafadz:

Contoh ayat yang menunjukkan ketiga hakikat bagi makna lafadz adalah Al-Qur'an Surah Al-Baqarah (2:195):

 

"Dan janganlah kamu membuat tanganmu menjadi terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu membuka tanganmu sampai terbuka lebar dan kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri."

 

Dalam ayat ini, kita dapat melihat tiga hakikat bagi makna lafadz:

 

   a. Makna Harfiah: Makna harfiah dari kata "terbelenggu pada lehermu" adalah secara literal mengaitkan tangan pada leher sebagai tanda keterbelengguan atau pembatasan gerakan.

 

   b. Makna Teknis: Dalam konteks hukum Islam, makna teknis dari "terbel

 

enggu pada lehermu" adalah menahan diri dari memberikan bantuan atau sedekah kepada orang lain, sehingga tangan menjadi "terbelenggu" dalam memberikan.

 

   c. Makna Maknawi: Makna maknawi dari ayat ini mengajarkan tentang pentingnya rendah hati, kesederhanaan, dan sikap tawadhu dalam hidup, serta mengecam sikap sombong dan menyombongkan diri.

 

Harapannya, contoh-contoh tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana konsep-konsep tersebut diterapkan dalam tafsir untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang makna ayat atau lafadz dalam teks suci.


PERADABAN ISLAM YANG BERKEMBANG PADA MASA ABU BAKAR DAN UMAR IBN AL-KHATHTHAB



I. Pendahuluan


Peradaban Islam merupakan hasil dari perkembangan agama Islam yang dipelopori oleh Nabi Muhammad SAW dan para khulafaur rasyidin yang menjadi khalifah setelah beliau. Salah satu periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban Islam adalah masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab. Kedua khalifah ini memiliki peran yang signifikan dalam membangun fondasi peradaban Islam. Makalah ini akan membahas perkembangan peradaban Islam pada masa Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab, meliputi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan peradaban, sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan pengaruhnya terhadap masyarakat pada waktu itu.


II. Faktor-faktor yang Membantu Pertumbuhan Peradaban Islam


Pertumbuhan peradaban Islam pada masa Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab didukung oleh beberapa faktor penting. Salah satu faktor utama adalah kesatuan umat Muslim yang terbentuk setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Abu Bakar dan Umar berhasil menjaga persatuan dan mengatasi perpecahan yang mungkin terjadi setelah kepergian Nabi. Mereka juga berhasil memperluas wilayah Islam melalui penaklukan yang dilakukan dalam rangka menyebarkan agama Islam. Penaklukan ini membuka peluang untuk penyebaran ajaran Islam dan pertukaran budaya antara masyarakat yang berbeda.


Selain itu, keadilan sosial yang ditegakkan oleh Abu Bakar dan Umar juga menjadi faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Islam. Mereka menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam memerintah, termasuk adil dalam pemberian hak-hak individu, perlindungan terhadap masyarakat lemah, dan penghapusan praktik penindasan yang ada pada masa sebelumnya.


III. Sistem Pemerintahan


Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab memperkenalkan sistem pemerintahan yang efektif dan adil. Abu Bakar sebagai khalifah pertama membentuk kabinet pemerintah yang terdiri dari para sahabat yang terpercaya. Ia juga mendirikan Majelis Syura, sebuah badan konsultatif yang berfungsi memberikan saran kepada khalifah. Kedua institusi ini membantu memastikan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.


Umar ibn al-Khaththab, khalifah kedua, melanjutkan reformasi dalam sistem pemerintahan. Ia membentuk lembaga administratif seperti Baitul Mal (kas negara) untuk mengelola keuangan negara dan memastikan penggunaan dana yang adil. Umar juga memperkenalkan sistem pengawasan terhadap pejabat pemerintah dan memerintahkan mereka untuk menjalankan tugas mereka dengan adil dan transparan.


IV. Ekonomi


Pada masa Abu Bakar dan Umar, terjadi perkembangan ekonomi yang signifikan dalam peradaban Islam. Mereka mendorong perdagangan dan ekonomi yang adil dengan memperluas jaringan perdagangan dan memberikan perlindungan kepada para pedagang Muslim. Umar juga menerapkan kebijakan reformasi agraria dengan membagi tanah yang ditaklukkan kepada kaum Muslimin yang membutuhkan, sehingga memperluas basis ekonomi masyarakat Muslim.


Pengembangan infrastruktur juga menjadi fokus penting pada masa ini. Jalan-jalan, jembatan, dan sistem irigasi dibangun untuk mendukung perdagangan dan pertanian. Umar juga mengembangkan pasar yang teratur dan memperkenalkan mata uang Islam (dinar dan dirham) untuk memfasilitasi transaksi ekonomi.


V. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan


Perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan juga menjadi prioritas pada masa Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar memperhatikan pentingnya pendidikan dan menginstruksikan para pemimpin lokal untuk mendirikan sekolah-sekolah di wilayah yang dikuasai. Ia juga memerintahkan pengumpulan dan penyusunan Al-Qur'an dalam bentuk tertulis agar tidak ada keraguan atau perbedaan dalam ajaran Islam.


Umar ibn al-Khaththab meneruskan upaya ini dengan membuka madrasah atau sekolah-sekolah agama di wilayah-wilayah penaklukan. Ia juga mendorong orang-orang untuk mencari ilmu pengetahuan dan memberikan dukungan finansial kepada para pelajar. Kebijakan ini mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang seperti matematika, astronomi, dan kedokteran.


VI. Pengaruh Terhadap Masyarakat


Peradaban Islam yang berkembang pada masa Abu Bakar dan Umar memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat pada waktu itu. Keadilan sosial yang ditegakkan oleh khalifah-khalifah ini menciptakan stabilitas sosial yang memungkinkan masyarakat untuk hidup dengan damai dan aman. Masyarakat merasakan keadilan dalam distribusi kekayaan dan perlindungan hak-hak individu.


Pengembangan ekonomi juga memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Perdagangan yang berkembang membawa kemakmuran dan kesempatan kerja bagi penduduk. Sistem infrastruktur yang ditingkatkan meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi dalam mobilitas dan distribusi barang.


Pendidikan dan ilmu pengetahuan membuka pintu bagi perkembangan intelektual masyarakat Muslim. Masyarakat merasakan manfaat dari penyebaran pengetahuan dan pendidikan yang diakui sebagai landasan peradaban yang kuat.


VII. Kesimpulan


Peradaban Islam yang berkembang pada masa Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan fondasi peradaban Islam yang kuat. Faktor-faktor seperti kesatuan umat Muslim, sistem pemerintahan yang adil, perkembangan ekonomi,  dan perhatian terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan membentuk landasan yang kokoh untuk peradaban yang maju. Pengaruhnya terhadap masyarakat pada waktu itu memberikan manfaat yang nyata dalam hal keadilan, kesejahteraan ekonomi, dan pengembangan intelektual. Periode ini merupakan tonggak penting dalam sejarah peradaban Islam yang tidak hanya relevan pada masa itu, tetapi juga memberikan pembelajaran yang berharga bagi kita hingga saat ini.



Referensi : 

Rahmat, M. N. (2016). Sejarah Pemikiran Politik Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Pustaka Al-Kautsar.

Muin, F. (2007). Abu Bakar As-Shiddiq: Sosok Khalifah Pembawa Cita-cita Revolusi Akhlak. Pustaka Al-Kautsar.

Ramadhan, M. A. (2012). Umar bin Khattab: Khalifah Penakluk Dunia. Mizan Pustaka.

Mulyono, H. A. (2016). Pemikiran Pendidikan Abu Bakar Ash Shiddiq. Rajawali Pers.

Huda, M. N. (2013). Pendidikan Islam pada Masa Umar bin Khattab. Ar-Ruzz Media.


Sabtu, 10 Juni 2023

BALAGHAH PRA TURUNNYA AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN ILMU MODERN


BALAGHAH PRA TURUNNYA AL-QUR’AN

 

Balaghah Pra-Turun Al-Qur'an merujuk pada penggunaan retorika atau gaya bahasa yang ada sebelum Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun Al-Qur'an memiliki keunikan dan keistimewaannya sendiri, gaya bahasa dan retorika yang digunakan dalam Al-Qur'an terkait erat dengan tradisi retorika Arab pra-Islam.

 

Sebelum kedatangan Al-Qur'an, masyarakat Arab menggunakan berbagai teknik retorika untuk menyampaikan pesan mereka dengan gaya yang memikat, mempengaruhi, dan meyakinkan pendengar mereka. Beberapa aspek penting balaghah pra-turun Al-Qur'an adalah sebagai berikut:

 

1. Keindahan Bahasa: Sastra Arab pra-Islam dikenal dengan penggunaan bahasa yang indah, kaya, dan puitis. Puisi Arab memiliki struktur yang rumit dan menggunakan berbagai gaya bahasa seperti majas, perumpamaan, hiperbola, metafora, dan lain-lain untuk mengekspresikan gagasan dan emosi. Keindahan bahasa ini juga tercermin dalam Al-Qur'an, yang menarik perhatian pendengar dan pembaca dengan penggunaan bahasa yang indah dan memukau.

 

2. Pemanfaatan Majas: Majas atau gaya bahasa figuratif memiliki peran penting dalam balaghah pra-turun Al-Qur'an. Beberapa jenis majas yang umum digunakan adalah majas tasybih (perumpamaan), majas majaz mursal (metafora), majas isti'arah (kiasan), majas kinayah (sindiran), dan banyak lagi. Penggunaan majas ini memberikan kekuatan dan daya tarik pada pesan-pesan yang disampaikan.

 

3. Kekuatan Persuasi: Retorika pra-turun Al-Qur'an juga digunakan untuk mempengaruhi dan meyakinkan pendengar. Para penyair Arab menggunakan teknik retorika untuk mengatur dan menyusun kata-kata dengan cara yang memikat dan mengesankan. Hal ini membantu dalam membangun argumen yang kuat dan mengkomunikasikan pesan dengan kekuatan persuasif.

 

4. Konteks Sosial dan Budaya: Penggunaan balaghah pra-turun Al-Qur'an terkait erat dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Arab pra-Islam. Retorika Arab pra-Islam membentuk landasan budaya dan literatur yang kemudian menjadi kerangka kerja bagi penyampaian pesan dalam Al-Qur'an. Dalam banyak kasus, Al-Qur'an menggunakan gaya bahasa yang dikenal dalam masyarakat Arab saat itu untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat saat itu.

 

Penggunaan balaghah pra-turun Al-Qur'an menunjukkan hubungan yang dalam antara Al-Qur'an dengan tradisi sastra Arab pra-Islam. Meskipun Al-Qur'an memiliki keunggulan yang luar biasa dan dianggap sebagai mukjizat bahasa Arab, penggunaan retorika dalam Al-Qur'an tidak dapat dipisahkan dari konteks retorika dan gaya bahasa yang ada sebelumnya dalam masyarakat Arab. Ini memberikan dimensi

Berikut adalah beberapa contoh penggunaan balaghah pra-turun Al-Qur'an:

 

1. Majas Tashbih (Perumpamaan):

   "Dan seperti itulah Kami jelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang memahaminya." (QS. Yunus: 24)

   Ayat ini menggunakan majas tashbih (perumpamaan) untuk menjelaskan bahwa Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada orang-orang yang memahaminya dengan cara yang mirip dengan penjelasan yang mudah dipahami.

 

2. Majas Majaz Mursal (Metafora):

   "Mereka (orang-orang kafir) itu seperti anjing yang jika kamu menghalangi dia, dia mengembuskan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia mengembuskan lidahnya juga." (QS. Al-A'raf: 176)

   Ayat ini menggunakan majas majaz mursal (metafora) untuk menggambarkan perilaku orang-orang kafir yang tidak stabil dan berubah-ubah, seperti perilaku anjing yang bereaksi berbeda tergantung pada situasi.

 

3. Majas Isti'arah (Kiasan):

   "Mereka (orang-orang munafik) menjual kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Maka tidaklah akan diampuni bagi mereka dan tidaklah akan dilihat-Nya kepada mereka pada hari kiamat." (QS. Al-Baqarah: 86)

   Ayat ini menggunakan majas isti'arah (kiasan) untuk menggambarkan bahwa orang-orang munafik mengorbankan kehidupan akhirat demi kehidupan dunia, dan sebagai konsekuensinya, mereka tidak akan mendapatkan ampunan dan perhatian Allah pada hari kiamat.

 

4. Majas Kinayah (Sindiran):

   "Dan hendaklah kamu bertolak-tolak di bumi itu dan melihat bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) itu." (QS. Al-An'am: 11)

   Ayat ini menggunakan majas kinayah (sindiran) untuk menegaskan pentingnya melihat akibat yang menimpa orang-orang yang mendustakan rasul-rasul Allah sebagai peringatan bagi orang-orang yang berpikir serupa.

 

Contoh-contoh di atas menunjukkan penggunaan balaghah pra-turun Al-Qur'an dalam berbagai bentuk majas, yang digunakan untuk menggambarkan, membandingkan, dan menyampaikan pesan dengan cara yang menarik dan mempengaruhi pendengar atau pembaca.

 

 

BALAGHAH PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN ILMU MODERN

 

Balaghah dalam perspektif Al-Qur'an mengacu pada penggunaan gaya bahasa dan retorika yang ada dalam Al-Qur'an itu sendiri. Al-Qur'an merupakan karya sastra yang luar biasa dalam bahasa Arab, dan penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an memiliki tujuan dan fungsi tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi kepada umat manusia.

 

Dalam Al-Qur'an, penggunaan balaghah memainkan peran penting dalam beberapa aspek:

 

1. Kekuatan Komunikasi: Balaghah digunakan dalam Al-Qur'an untuk menyampaikan pesan Allah dengan cara yang kuat dan memukau. Penggunaan majas, perumpamaan, hiperbola, dan gaya bahasa lainnya memberikan kejelasan, kekuatan, dan daya tarik pada pesan-pesan Al-Qur'an. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pendengar dan pembaca, serta mempengaruhi pikiran dan hati mereka.

 

2. Memahami Makna Mendalam: Penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an juga membantu untuk menggali makna yang lebih dalam dari ayat-ayatnya. Al-Qur'an menggunakan berbagai gaya bahasa untuk menyampaikan pesan-pesan ilahi, termasuk majas, metafora, perbandingan, ironi, dan lain-lain. Memahami balaghah membantu para penafsir Al-Qur'an untuk mengeksplorasi dan memperdalam pemahaman tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.

 

3. Relevansi dengan Ilmu Modern: Meskipun Al-Qur'an diturunkan lebih dari 1.400 tahun yang lalu, penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an masih memiliki relevansi dengan ilmu modern. Penelitian dalam ilmu komunikasi dan psikologi telah menunjukkan bahwa penggunaan retorika dan gaya bahasa tertentu dapat mempengaruhi persepsi, emosi, dan pemahaman manusia. Oleh karena itu, pemahaman balaghah dalam Al-Qur'an juga dapat diterapkan dalam konteks modern untuk memahami dan mengkomunikasikan pesan dengan lebih efektif.

 

Namun, penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an bukanlah buku teks ilmiah modern yang menjelaskan fenomena fisik atau konsep ilmiah yang dapat diuji secara empiris. Al-Qur'an adalah wahyu ilahi yang memiliki dimensi spiritual dan moral yang mendalam. Oleh karena itu, ketika membahas balaghah dalam Al-Qur'an dari perspektif ilmu modern, penting untuk menghormati dan mengakui perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan wahyu ilahi.

 

Dalam kesimpulan, balaghah dalam Al-Qur'an memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi dengan cara yang kuat, memikat, dan mendalam. Penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an tetap relevan dengan ilmu modern dalam konteks pemahaman dan komunikasi, tetapi perlu diingat bahwa Al-Qur'an adalah wahyu ilahi yang memiliki dimensi spiritual yang tidak dapat diukur atau diuji dengan metode ilmiah.

Berikut adalah beberapa contoh penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an:

 

1. Majas Tashbih (Perumpamaan):

   "Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti lubang di dalamnya, ada pelita. Pelita itu di dalam kaca (yang bersinar) seperti bintang yang terang, dinyalakan dari pohon yang berkat, (yaitu) zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya." (QS. An-Nur: 35)

   Ayat ini menggunakan majas tashbih (perumpamaan) untuk menggambarkan Allah sebagai cahaya yang menerangi langit dan bumi. Perumpamaan ini membantu untuk memahami sifat-sifat Allah yang suci dan terang.

 

2. Majas Majaz Mursal (Metafora):

   "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah)." (QS. Al-A'raf: 179)

   Ayat ini menggunakan majas majaz mursal (metafora) untuk menggambarkan ketidakmampuan orang-orang kafir untuk memahami dan melihat tanda-tanda kebesaran Allah, meskipun mereka memiliki hati dan mata secara fisik.

 

3. Majas Kinayah (Sindiran):

   "Apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang Allah telah menciptakan, yang bayangkan segala sesuatu dari bumi, kemudian dijadikan-Nya yang terang, dan dijadikan-Nya yang gelap gulita?" (QS. Al-An'am: 99)

   Ayat ini menggunakan majas kinayah (sindiran) untuk mengkritik orang-orang yang tidak memperhatikan keajaiban ciptaan Allah di sekitar mereka, meskipun semuanya terlihat dengan jelas.

 

Contoh-contoh ini menggambarkan penggunaan balaghah dalam Al-Qur'an, termasuk penggunaan majas seperti perumpamaan, metafora, dan sindiran. Penggunaan balaghah ini memberikan kekuatan komunikasi dan memperdalam pemahaman pesan-pesan Al-Qur'an.

Jumat, 09 Juni 2023

Makna Isim dan Fi'il, Tashrif, I'rob, Hazef, Ziyadah






Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa konsep gramatikal yang penting untuk dipahami, termasuk isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah. Berikut adalah penjelasan singkat tentang setiap konsep tersebut:


1. Isim: Isim adalah kata benda dalam bahasa Arab. Isim digunakan untuk merujuk pada orang, tempat, benda, atau konsep abstrak. Isim memiliki berbagai bentuk, termasuk tunggal (mufrad) dan jamak (jama'). Isim juga dapat memiliki berbagai macam kata ganti kepemilikan (possessive pronouns) dan kata ganti orang (personal pronouns).


Contoh: كِتَابٌ (kitābun) - sebuah buku


2. Fi'il: Fi'il adalah kata kerja dalam bahasa Arab. Fi'il digunakan untuk mengekspresikan tindakan atau keadaan. Fi'il memiliki bentuk-bentuk yang berbeda tergantung pada pelaku (subjek), objek, waktu, dan lain-lain.


Contoh: كَتَبَ (kataba) - ia menulis


3. Tashrif: Tashrif adalah proses mengubah kata dasar menjadi bentuk yang berbeda dengan menambahkan akhiran atau mengubah vokal. Tashrif digunakan dalam konteks perubahan kata benda menjadi kata ganti orang, jumlah, atau jenis kelamin yang berbeda.


Contoh: رَجُلٌ (rajulun) - seorang laki-laki, رِجَالٌ (rijālun) - beberapa laki-laki


4. I'rob: I'rob adalah proses mengubah bentuk kata sesuai dengan peran gramatikalnya dalam kalimat. I'rob melibatkan perubahan akhiran dan/atau penambahan di tengah kata. Tujuannya adalah untuk menunjukkan fungsi sintaksis kata dalam kalimat, seperti subjek, objek, atau kata sifat.


Contoh: الرَجُلُ يَكْتُبُ (ar-rajulu yaktubu) - laki-laki menulis


5. Hazef: Hazef (article) adalah partikel takrif dalam bahasa Arab yang berfungsi sebagai kata sandang "the" dalam bahasa Inggris. Hazef digunakan untuk menunjukkan ketentuan atau spesifikasi pada kata benda.


Contoh: الكِتَابُ (al-kitābu) - buku itu


6. Ziyadah: Ziyadah adalah proses penambahan huruf atau suara tambahan pada kata untuk mengindikasikan penambahan makna atau perubahan makna kata tersebut. Ziyadah umumnya terjadi pada akhir kata.


Contoh: سَعِيدٌ (sa'īdun) - bahagia, سَعِيدَةٌ (sa'īdatun) - bahagia (untuk kata benda feminin)


Demikianlah penjelasan singkat tentang makna isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah dalam bahasa Arab. Harapannya ini dapat membantu memperjelas pemahaman Anda terkait konsep-konsep gramatikal tersebut.




Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa konsep dasar yang penting untuk dipahami, termasuk isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah. Berikut adalah penjelasan singkat tentang makna dan penggunaan mereka:


1. Isim: Isim merupakan kata benda dalam bahasa Arab. Isim merujuk pada orang, tempat, benda, atau konsep abstrak lainnya. Isim juga memiliki jenis-jenis tertentu seperti isim jins (kata benda jenis kelamin), isim musyabbah (kata benda tak berjenis kelamin), isim mabni (kata benda tidak berubah bentuk), dan isim mu'rab (kata benda berubah bentuk).


2. Fi'il: Fi'il merujuk pada kata kerja dalam bahasa Arab. Fi'il digunakan untuk mengekspresikan tindakan, keadaan, atau peristiwa. Fi'il juga dapat berubah bentuk sesuai dengan subjek dan waktu dalam kalimat.


3. Tashrif: Tashrif adalah proses perubahan bentuk kata benda dan kata kerja dalam bahasa Arab. Tashrif melibatkan penambahan awalan, akhiran, atau perubahan huruf pada kata dasar untuk mengindikasikan perubahan makna, jenis kata, dan gramatikal.


4. I'rob: I'rob adalah sistem penandaan gramatikal dalam bahasa Arab. I'rob digunakan untuk menunjukkan hubungan sintaksis antara kata-kata dalam sebuah kalimat. Dalam i'rob, kata-kata dapat mengalami perubahan bentuk untuk menunjukkan kasus (nominatif, genitif, akusatif), jumlah (tunggal, jamak), dan gender (maskulin, feminin).


5. Hazef: Hazef adalah konsep penghilangan bunyi dalam bahasa Arab. Hazef terjadi ketika bunyi huruf atau suku kata dalam kata digantikan oleh bunyi lain atau dihilangkan sepenuhnya. Hazef biasanya terjadi dalam konteks gramatikal tertentu, seperti dalam infleksi kata atau dalam penggunaan kata depan.


6. Ziyadah: Ziyadah berarti penambahan bunyi atau suku kata pada kata dalam bahasa Arab. Ziyadah dapat terjadi dalam konteks gramatikal tertentu, seperti dalam pembentukan kata kerja atau kata sifat yang membutuhkan penambahan akhiran atau awalan tambahan.


Demikianlah penjelasan singkat tentang makna dan penggunaan isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah dalam bahasa Arab. Penting untuk mempelajari lebih lanjut tentang tata bahasa Arab untuk memahami penggunaan dan aturan-aturan yang lebih rinci terkait dengan konsep-konsep ini.


Berikut adalah contoh penggunaan isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah dalam kalimat-kalimat bahasa Arab:


1. Isim:

   - امرأة (imra'ah) - perempuan

   - كتاب (kitab) - buku

   - مدينة (madinah) - kota


2. Fi'il:

   - يقرأ (yaqra') - membaca

   - يكتب (yaktub) - menulis

   - يأكل (ya'kul) - makan


3. Tashrif:

   - منزل (manzil) - rumah

     تمنزل (tamannazal) - beristirahat (tashrif dari kata dasar "manzil" untuk menunjukkan makna istirahat di rumah)


4. I'rob:

   - الكتاب جديد (al-kitabu jadidun) - Buku itu baru. (i'rob menunjukkan kasus nominatif "kitabu" dan sifat "jadidun" yang sesuai dengan kata benda tunggal "kitab")


5. Hazef:

   - في البيت (fi al-bayti) - di rumah (huruf "alif" dihilangkan dalam "al-bayti" untuk memfasilitasi pelafalan yang lebih lancar)


6. Ziyadah:

   - مكتبة (maktabah) - perpustakaan (ziyadah "ah" ditambahkan pada kata dasar "maktab" untuk membentuk kata benda "maktabah")


Harap dicatat bahwa ini hanya beberapa contoh penggunaan dan variasi bahasa Arab yang luas. Terdapat aturan dan pola yang lebih kompleks yang mempengaruhi isim, fi'il, tashrif, i'rob, hazef, dan ziyadah. Untuk pemahaman yang lebih mendalam, disarankan untuk mempelajari tata bahasa Arab secara menyeluruh.

LEMBAGA AL-QURAN KLASIK DAN MODERN DI INDONESIA

 





 

BAB I. PENDAHULUAN

Latar Belakang:

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang mengandung wahyu dan petunjuk Allah SWT. Sebagai pusat ajaran agama Islam, Al-Quran memainkan peran penting dalam kehidupan umat Muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, lembaga Al-Quran klasik dan modern memainkan peran vital dalam memfasilitasi pemahaman, pengajaran, dan pengkajian Al-Quran. Lembaga-lembaga ini memiliki peran yang berbeda dalam mempromosikan pemahaman Al-Quran yang autentik, menjaga warisan budaya, dan mengembangkan pendekatan yang relevan dengan zaman modern.

 

Tujuan Penulisan:

Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan peran lembaga Al-Quran klasik dan modern di Indonesia, baik dari segi pendekatan pengajaran, pemeliharaan warisan budaya, maupun relevansinya dengan tantangan zaman modern. Selain itu, makalah ini juga akan membahas perkembangan, tantangan, dan harapan untuk masa depan lembaga-lembaga Al-Quran di Indonesia.

 

BAB II. LEMBAGA AL-QURAN KLASIK DI INDONESIA

 

A. Pengajaran dan Pengkajian Al-Quran:

Pesantren: Pesantren tradisional memainkan peran utama dalam pengajaran dan pengkajian Al-Quran klasik di Indonesia. Santri di pesantren diperkenalkan dengan metode penghafalan, pemahaman, dan tafsir Al-Quran yang telah diwariskan secara turun temurun.

Majelis Taklim: Majelis taklim adalah wadah komunitas yang memfasilitasi diskusi dan pengajaran Al-Quran. Dalam majelis taklim, kitab Al-Quran dipelajari melalui pembacaan, pemahaman, dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

 

B. Pemeliharaan Warisan Budaya:

 

Khat Al-Quran: Lembaga-lembaga Al-Quran klasik di Indonesia juga mempertahankan tradisi seni khat, yaitu seni kaligrafi Al-Quran. Khat Al-Quran merupakan bentuk seni tulis yang indah dan dipercaya memiliki nilai spiritual yang mendalam.

Qira'at: Lembaga Al-Quran klasik juga memelihara tradisi qira'at, yaitu pelafalan dan intonasi bacaan Al-Quran. Beberapa lembaga di Indonesia menyelenggarakan kompetisi qira'at sebagai upaya memelihara warisan ini.

 

BAB III. LEMBAGA AL-QURAN MODERN DI INDONESIA

 

A. Pendidikan Formal:

Madrasah dan Sekolah Islam: Lembaga pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah Islam memasukkan pelajaran Al-Quran ke dalam kurikulum mereka. Selain pengajaran bacaan dan pemahaman Al-Quran, lembaga ini juga mengajarkan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Quran.

B. Penggunaan Teknologi dalam Pengajaran:

 

Aplikasi Al-Quran Digital: Lembaga-lembaga Al-Quran modern juga memanfaatkan teknologi dengan mengembangkan aplikasi Al-Quran digital. Aplikasi ini memudahkan umat Muslim dalam membaca, menghafal, dan memahami Al-Quran melalui perangkat mobile atau komputer.

Pembelajaran Jarak Jauh: Lembaga-lembaga Al-Quran modern di Indonesia juga mengadopsi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi. Hal ini memungkinkan siswa dari berbagai wilayah dapat mengakses pengajaran Al-Quran tanpa harus berada di tempat yang sama secara fisik.

 

 

 

BAB IV. TANTANGAN DAN HARAPAN

 

A. Tantangan:

Modernisasi yang Seimbang: Lembaga-lembaga Al-Quran di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk tetap relevan dengan zaman modern tanpa mengorbankan esensi dan nilai-nilai Al-Quran klasik.

Penyebaran Informasi yang Tidak Akurat: Dalam era digital, penyebaran informasi yang tidak akurat tentang Al-Quran dapat menimbulkan pemahaman yang salah. Lembaga-lembaga Al-Quran perlu aktif dalam menghadapi tantangan ini dengan menyediakan sumber informasi yang terpercaya.

 

B. Harapan:

Pengembangan Pemahaman Al-Quran yang Holistik: Harapannya adalah lembaga Al-Quran di Indonesia dapat mengembangkan pemahaman Al-Quran yang holistik, mencakup aspek teks, konteks, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Kolaborasi dan Sinergi: Harapannya adalah lembaga-lembaga Al-Quran klasik dan modern dapat saling bekerja sama dan berkolaborasi untuk meningkatkan pengajaran, pemahaman, dan penyebaran Al-Quran di Indonesia.

 

 

BAB V. KESIMPULAN

 

Lembaga Al-Quran klasik dan modern di Indonesia memiliki peran yang penting dalam memfasilitasi pemahaman, pengajaran, dan pengkajian Al-Quran. Dari lembaga Al-Quran klasik yang mementingkan tradisi pengajaran dan pemeliharaan warisan budaya, hingga lembaga Al-Quran modern yang memanfaatkan teknologi dalam pengajaran, semuanya berkontribusi untuk memperkaya pemahaman umat Muslim terhadap Al-Quran. Dengan menghadapi tantangan zaman modern, harapannya adalah lembaga-lembaga Al-Quran di Indonesia dapat terus berkembang, memperkuat kolaborasi, dan menghasilkan pemahaman Al-Quran yang holistik untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim Indonesia.

 

Referensi ;

Buku:

Nasution, H. (1992). Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Zein, A. (2001). Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rahayu, M. (2014). Pendidikan Al-Quran dalam Perspektif Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Jurnal:

Al-Husaini, M. (2019). The Integration of Classical and Modern Approach in Teaching the Quran. Al-Bayan: Journal of Qur'an and Hadith Studies, 17(1), 121-136.

Isnaini, H., & Munawwir, A. (2018). The Role of Pesantren in the Modernization of Islamic Education in Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 8(1), 67-98.

Hasbi, M. (2016). The Development of Islamic Education in Indonesia: The Case of Quranic Education. Journal of Education and Practice, 7(9), 107-114.

Artikel Online:

"Pondok Pesantren dan Peran Pentingnya di Indonesia." Diakses melalui: https://www.kompasiana.com/rayshah/5519b0de6ea834f739a751d3/pondok-pesantren-dan-peran-pentingnya-di-indonesia

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASA NABI MUHAMMAD SAW dan HIKMAH YANG DAPAT DIPETIK



Sejarah peradaban Islam masa Nabi Muhammad SAW di Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Islam. Periode ini juga dikenal sebagai periode Mekahiah atau periode pra-Hijrah, karena Nabi Muhammad SAW tinggal di kota Mekah sebelum hijrah ke Madinah. Berikut ini adalah penjelasan mengenai sejarah peradaban Islam masa Nabi Muhammad SAW di Makkah:


1. Latar Belakang: Sebelum menerima wahyu, Mekah merupakan pusat kegiatan perdagangan dan keagamaan di Semenanjung Arab. Namun, masyarakat Mekah pada masa itu cenderung hidup dalam praktik-praktik yang tidak Islami, seperti penyembahan berhala dan praktik-praktik sosial yang tidak adil. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pedagang yang dihormati di kota Mekah.


2. Penyampaian Wahyu: Pada tahun 610 M, saat Nabi Muhammad SAW berusia 40 tahun, dia menerima wahyu pertamanya di gua Hira. Malaikat Jibril (Gabriel) datang kepadanya dan menyampaikan pesan-pesan Allah SWT. Pesan-pesan ini kemudian diturunkan dalam bentuk ayat-ayat suci yang membentuk Al-Qur'an. Wahyu-wahyu ini mendorong Nabi Muhammad SAW untuk menyebarkan ajaran tauhid (keesaan Allah) dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan penyembahan berhala.


3. Penentangan dan Persecution: Ketika Nabi Muhammad SAW mulai mengajarkan ajaran Islam di Mekah, ia menghadapi penentangan dan penganiayaan dari para pemimpin Quraisy, suku utama Mekah. Mereka melihat ajaran Islam sebagai ancaman terhadap kekuasaan dan sistem sosial mereka yang telah lama berjalan. Penganut awal Islam juga menjadi sasaran penganiayaan fisik dan ekonomi.


4. Dukungan dari para Pengikut Awal: Meskipun menghadapi penindasan, Nabi Muhammad SAW memiliki sekelompok pengikut awal yang setia dan mendukungnya. Mereka termasuk keluarganya sendiri, seperti istrinya Khadijah RA, dan beberapa sahabat yang lebih awal seperti Abu Bakar RA, Umar RA, dan Ali RA. Mereka menerima dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam dan mendukung Nabi Muhammad SAW secara moral dan materi.


5. Hijrah ke Madinah: Penganiayaan terus meningkat dan pada tahun 622 M, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya meninggalkan Mekah dan hijrah ke kota Madinah, yang pada saat itu dikenal sebagai Yathrib. Peristiwa ini dikenal sebagai Hijrah dan menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW juga mendirikan negara Islam pertama di Madinah dan mengorganisir masyarakat secara politik dan sosial berdasarkan ajaran-ajaran Islam.


Dengan demikian, periode peradaban Islam di Mekah pada masa Nabi Muhammad SAW mencakup penyebaran ajaran Islam yang murn.


Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari sejarah peradaban Islam masa Nabi Muhammad SAW di Makkah. Berikut ini adalah beberapa hikmah tersebut:


1. Ketabahan dan Ketaqwaan: Salah satu hikmah yang dapat dipetik adalah ketabahan dan ketaqwaan dalam menghadapi cobaan dan penganiayaan. Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya mengalami berbagai bentuk penindasan dan penganiayaan di Mekah, namun mereka tetap teguh dalam keyakinan dan taat kepada Allah SWT. Hal ini mengajarkan kepada umat Islam untuk mempertahankan keimanan dan ketaqwaan dalam menghadapi tantangan dan rintangan dalam hidup.


2. Sabar dan Pengampunan: Meskipun dihadapkan dengan perlakuan yang tidak adil dan kejam, Nabi Muhammad SAW tetap menunjukkan sikap sabar dan pengampunan kepada para penentangnya. Dia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, namun selalu berusaha memberikan contoh yang baik dan mengajak mereka kepada kebenaran. Hikmah ini mengajarkan umat Islam untuk berusaha menjaga kesabaran dan mengampuni orang-orang yang melukai atau menzalimi mereka.


3. Keteladanan dan Pengajaran: Nabi Muhammad SAW dalam masa di Mekah menjadi contoh yang hidup bagi umat Islam. Dia mengajarkan ajaran Islam melalui kata-kata dan perbuatan yang lugas dan tulus. Sikap dan perilaku beliau menjadi tuntunan bagi umat Islam dalam berperilaku, beribadah, dan berinteraksi dengan sesama manusia. Hikmah ini mengajarkan pentingnya memiliki keteladanan dalam menyebarkan dan menjalankan ajaran Islam.


4. Keberanian dan Keteguhan: Sejarah peradaban Islam di Mekah juga menunjukkan keberanian dan keteguhan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam menghadapi penindasan dan ancaman. Mereka tidak gentar dalam membela kebenaran dan menyebarkan ajaran Islam meskipun menghadapi risiko yang besar. Hikmah ini mengajarkan pentingnya memiliki keberanian dan keteguhan dalam mempertahankan kebenaran dan nilai-nilai Islam dalam situasi apa pun.


5. Harapan dan Pengharapan: Meskipun masa di Mekah penuh dengan kesulitan dan penganiayaan, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya tetap memiliki harapan dan pengharapan yang kuat kepada Allah SWT. Mereka yakin bahwa Allah akan memberikan pertolongan dan keberkahan kepada mereka di masa yang akan datang. Hikmah ini mengajarkan umat Islam untuk selalu memiliki harapan dan pengharapan kepada Allah dalam menghadapi cobaan dan tantangan dalam hidup.


Dalam keseluruhan, sejarah peradaban Islam masa Nabi Muhammad SAW di Makkah memberikan banyak hikmah yang berharga bagi umat Islam. Hikmah-hikmah tersebut mengajarkan umat Islam tentang ketabahan, ketaqwaan, kesabaran, pengampunan, keteladanan, keberanian, keteguhan, harapan, dan pengharapan kepada Allah SWT.

Kamis, 08 Juni 2023

GHORRIB AL-QUR'AN (KATA-KATA ASING DALAM AL-QUR'AN)

 GHORRIB AL-QUR'AN (KATA-KATA ASING DALAM AL-QUR'AN)




Atas nama mereka karena mereka adalah orang Arab, makna kata-kata Al-Qur'an yang Mulia

secara keseluruhan dipahami oleh para sahabat, semoga Allah meridhoi lidah, dan mereka tidak banyak menderita dalam memahami maknanya. adalah kata-kata dari Al-Qur'an yang mereka anggap aneh dan tidak mengerti artinya. Karena itu bukan salah satu dialek mereka, misalnya, atau mereka belum pernah mendengarnya sebelumnya, maka mereka perlu meneliti dan mempertimbangkan dan bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang hal itu. semoga doa dan damai Allah besertanya, kepada para sahabatnya, makna beberapa kata Al-Qur'an dianggap sebagai inti munculnya ilmu kata-kata aneh dalam Al-Qur'an.

Definisi yang aneh dari Al-Qur'an Al-Gharib adalah sebuah bahasa: artikel “Gharb”  dalam kamus bahasa menunjukkan sejumlah makna, termasuk ketiadaan, keterpencilan, ketidakjelasan, dan penyembunyian. ) (1) Al-Khalil bin Ahmed Al-Farahidi, Kitab Al- Ain, diselidiki oleh

Mahdi Al-Makhzoumi dan Ibrahim Al-Samarrai, edisi kedua, 1986, Bagian 4, hal. Dar Al-Qalam, hal.604









Al-Zamakhshari berkata: “Gharb: setelah, dikatakan bahwa dia telah menyisihkan, artinya dia telah pergi, dan binatang itu telah duduk di tempatnya, yaitu, telah menghilang di sapunya, dan telah terlempar, maka disingkirkan, yaitu menjauh dari tujuan, dan berbicara, kemudian menjadi asing jika datang dengan ucapan aneh dan 

anekdotnya, lebih dari itu, dan dilarang kaget dengan tawa. , yang paling ekstrem.” 

(1) Anjing, yaitu rajin berburu, dan orang asing yang misterius berbicara. 

(2) Abu Suleiman Al-Khattabi berkata, “Orang asing dalam ucapan adalah orang misterius yang jauh dari Pemahaman, seperti orang asing di antara orang-orang, jauh dari tanah air yang terputus dari keluarga, dan darinya adalah perkataan Anda kepada seorang pria jika Anda menyingkirkannya dan membuangnya, dia adalah orang asing dari saya, yaitu lebih jauh 

(3) Al-Qadi Ayadh Wasel berkata, “Al-Gharba itu jauh, dan disebut al-Gharib untuk jarak rumahnya.”  Penyangkalan disebut keterasingan untuk  itu.” 

(4) Adapun definisi idiomatis dari orang asing, banyak definisi yang diberikan oleh para ahli Bahasa dan al-Qur’an, di antaranya:

Youssef Al-Maraachli mengatakan, “Keanehan Al-Qur’an adalah “kata-kata yang ambigu dalam Al-Qur’an dan penjelasan maknanya dalam bahasa dan ucapan orang Arab.” (9) Keanehan dari Al-Qur'an adalah kata-kata yang mungkin sulit dipahami dari kata-kata Tuhan Yang Maha Esa, dan ini mungkin karena ketidaktahuan akan bahasa dan artinya, atau karena petunjuk artinya tidak jelas, atau karena membutuhkan pengetahuan yang luas. bahasa, tafsir, dan ilmu-ilmu Al-Qur'an.

(1) Abu al-Qasim Mahmoud bin Omar al-Zamakhshari, 

(2) The Basis of Eloquence, diselidiki oleh Abd al-Rahim Mahmoud Beirut, Dar al-Ma’rifah.

(3) Abu Suleiman Hamad bin Muhammad al-Khattabi, Gharib al-Hadits, diselidiki oleh Abd al-Karim al-Azbawi, Mekkah, Pusat Penelitian Ilmiah dan Kebangkitan Warisan Islam, Universitas Umm al-Qura, 1402 H, hal. Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi Bagian 1, hal.301

(4) Makki bin Abi Thalib Al-Qaisi, Al-Umdah dalam Gharib Al-Qur’an, diselidiki oleh Youssef Al-Mar’aashli, Beirut, Yayasan Al-Risalah, hal 51.




Ilmu Al-Qur'an Ajaib Ilmu

Al-Qur'an Ajaib adalah ilmu yang berkaitan dengan penjelasan makna kata-kata Al-Qur'an yang mungkin sulit dipahami, sambil menyebutkan cara penyebutannya kadang-kadang, atau ilmu yang berspesialisasi dalam interpretasi Kata-kata Alquran yang misterius dan menjelaskan artinya dalam bahasa dan ucapan orang Arab. Dan subjek pengetahuan aneh tentang Al-Qur'an adalah kata-kata misterius yang membutuhkan penjelasan dan klarifikasi Di dalam Al-Qur'an.

Alasan Keanehan dalam Pengucapan Al-Qur'an Disepakati bahwa semua ucapan Al-Qur'an adalah fasih dan fasih, sehingga ucapan-ucapan Al-Qur'an jauh dari keanehan, ketidaknyamanan, disonansi dan ketidaknormalan.   Pengucapan orang tertentu dan diketahui orang lain.

Ada banyak alasan keanehan dalam pengucapan Al-Qur'an, dan  yang paling penting dari mereka. Yang pertama: Al-Qur'an mencakup ungkapan bahasa-bahasa Arab seperti Quraish, Hudhail, Thaqif, Hawazin, Kinana, Tamim dan Yaman.  Suku, maknanya tersembunyi satu sama lain, dan mereka merasa aneh.  Ibn al-Atsir menyebutkan di bagian akhir bahwa Ali bin Abi Thalib, semoga Tuhan menghormati wajahnya, bertanya  kepada Rasulullah, semoga doa dan damai Allah besertanya, ketika dia mendengarnya berbicara dengan delegasi Bani Nahd:

“Wahai Rasulullah Tuhan, kami adalah anak-anak dari satu ayah, dan kami melihat Anda berbicara kepada delegasi Arab dengan apa yang paling tidak kami mengerti? 'd.” Kemudian Ibnu al-Atsir berkata: Dia, semoga doa dan damai Allah besertanya, biasa berbicara kepada orang-orang Arab

meskipun mereka berbeda bangsa dan suku, dan perbedaan perut, paha, dan faksi mereka, masing-masing dengan Apa  Mereka mengerti, dan dia berbicara kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan.” (1)

(1) Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad Majd al-Din al-Shaibani Ibn al-Atheer, The End in Gharib al-Hadith and Athar, diselidiki oleh Taher Ahmed al-Zawi dan Mahmoud Muhammad al-Tanahi, Beirut, Ilmiah Perpustakaan. 1399 H, hal.4



Dan dari situ apa yang diriwayatkan oleh Saeed bin Al-Musayyib: “Sementara Umar bin Al-Khattab, semoga Tuhan meridhoi dia, berada di mimbar, dia berkata: Wahai manusia, apa yang kamu

katakan tentang perkataan Tuhan: (Atau Dia menangkap mereka? karena ketakutan) [Al-Nahl:47] Kemudian orang-orang terdiam, maka seorang syekh berdiri dan berkata: Wahai

Amirul Mukminin Ini bahasa kami di tengah ketakutan akan berkurangnya, Omar berkata: Tahukah

orang-orang Arab itu? dalam puisi mereka? Di dalamnya adalah interpretasi dari buku Anda dan arti

dari kata-kata Anda." (1) tentang dia Kedua: Al-Qur'an memuat beberapa ciri yang menjadi ciri khas bahasa Arab, seperti asosiasi dan pertentangan.Satu kata dalam Al-Qur'an bisa saja memiliki dua atau lebih makna yang berbeda, seperti kata “membawa” dalam kitab Allah SWT. mengatakan: Orang Arab menunjukkan  tiga arti: intens, asin, sangat panas, dan pahit (2) Kata yang sama dalam Al-Qur'an mungkin memiliki dua arti yang berlawanan, seperti kata "suci" dalam firman Yang mahakuasa: ﴾Demi malam ketika gelap [Al-Takweer: 17], itu menunjukkan dua makna yang berlawanan.

Mereka menerima dan mengelola. (3)

Ketiga: Mengubah beberapa makna ekspresi Al-Qur'an menjadi makna hukum yang dianugerahkan Al-Qur'an kepada mereka, yang tidak dikenal di masa Jahiliyah, seperti istilah fikih seperti shalat, zakat, dan haji, dan istilah pada Hari hari kiamat seperti al-Qara'a, al-Tammah, al-Sakhah, al-Waqi'ah, dan sebagainya. 

Kata-kata yang memiliki arti hukum. Keempat: Dimasukkannya kata-kata Arabisasi dalam Al-Qur’an, yaitu kata non-Arab yang telah menyusup ke dalam bahasa Arab.

Revival of Arab Heritage, 1422 H, Bagian 6, hal.19. (1)

Ahmed bin Muhammad bin Ibrahim Al-Tha'ali, Pengungkapan dan Klarifikasi Tafsir Al-Qur'an, penyelidikan oleh Imam Abi Muhammad bin Ashour,  Beirut, Dar (2) Ahmed Mukhtar Omar, Berlangganan dan Kontradiksi di Kudus Qur'an, Cairo, World of Books, edisi pertama, 1423 H, hal.18 .

Dalam buku ini, Dr. Ahmed Mukhtar menghitung kata-kata syirik dalam Al-Qur'an, dan menyimpulkan bahwa jumlahnya adalah 298.

(3) Referensi sebelumnya, hal.139. Dr. Ahmed Mukhtar menghitung dalam buku ini kata-kata penentangan dalam Al-Qur'an, dan menyimpulkan bahwa Ada 23 kata.


Jalan, Al-Tur, yang dalam bahasa Syria, artinya gunung, Al-Raqim, artinya Romawi, artinya papan, “Hadana”,  yang dalam bahasa Ibrani, artinya kita bertobat dan kembali, “Catatan”, yang dalam bahasa Persia, yang artinya buku,  dan “The niche” yang dalam bahasa Etiopia, artinya ceruk. Dan "Keflain", yang dalam bahasa Etiopia, dan artinya  ganda, dan seterusnya. Kelima:

Masuknya bahasa non-Arab ke dalam Islam dan pencampurannya dengan bahasa Arab setelah penaklukan Islam, yang menyebabkan penyebaran melodi, dan orang-orang berpaling

dari kefasihan.

Munculnya Ilmu Al- Qur'an Asing Ilmu Al-Qur'an Asing telah muncul sejak awal Islam, dan Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang pertama yang menafsirkan Al-Qur'an Asing.

Untuk Anda adalah Peringatan, agar Anda menjelaskan kepada orang-orang apa yang diwahyukan kepada mereka, dan agar mereka berpikir) [An-Nahl: 44]. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan apa yang membingungkan para sahabat tentang apa yang tidak mereka pahami atau heran dari makna Al-Qur'an yang Mulia, meskipun mereka termasuk orang yang berbahasa .

Kata-kata bahasa mereka (1) Contoh tafsir Nabi, semoga doa dan damai besertanya, untuk keanehan Al-Qur'an. ]  Bahwa jalan adalah bekal dan tumpangan, (3) semua dan siapa pun  Dan penafsirannya tentang firman Yang Maha Kuasa: (Bagi orang yang berbuat baik adalah yang terbaik dan peningkatan [Yunus: 26] bahwa peningkatan itu adalah  (1) Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti, Kesempurnaan Ilmu Al-Qur'an, diselidiki oleh Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, Kairo,

Otoritas Umum Mesir untuk Buku, 1394 H, Bagian 2, hal.126. Lihat juga Muhammad al-Sayyid Hussein al-Dhahabi, Interpretation and Interpreters,  Cairo, Wahba Library, Bagian 1, hal 29

(2) Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-Jaafi, Sahih Al-Bukhari, investigasi oleh Muhammad

Zuhair Nasser Al-Nasser, Dar Touq Al-Najat, edisi pertama, 1422 H, bagian 3, hal.Kebangkitan Buku Arab, Bagian 2, hal.967


Melihat Allah Yang Maha Esa, dan penafsirannya terhadap firman-Nya: {Kamu akan menunggangi, selapis demi selapis} [Al-Inshiqaq: 19] bahwa keadaan demi keadaan, dan penafsirannya terhadap firman Yang Maha Kuasa: (Sesungguhnya Aku memberimu al-Kawthar) [Al-Kawthar: 1] (1) (2) bahwa

Itu adalah sungai di surga, (3) Dan selain interpretasinya, semoga doa dan damai Allah besertanya, dari kata-kata Al-Qur' an, semoga Tuhan meridhoi mereka. Yang dikejutkan oleh para sahabat, dan

setelah pemindahan Utusan, semoga doa dan damai Allah besertanya, ke publik tertinggi, dia adalah sahabat senior  Mereka menjelaskan kepada anak-anak mereka apa yang membingungkan mereka dari Al-Qur'an atau apa yang mereka anggap aneh, karena itu mungkin tersembunyi dari mereka.

Tuhan berkelompok,  dan  mengejar sesuatu karena usia mereka yang masih muda, dan karena mereka tidak  menghadiri semua adegan bersama Nabi. Ekspansi penaklukan Islam dan masuknya banyak orang ke dalam suatu agama, ada kebutuhan mendesak untuk memahami Al-Qur'an, dan mereka tidak mengetahui Al-Qur'an, interpretasinya, atau alasan diturunkannya , dan banyak makna dan aturannya tersembunyi dari mereka. Oleh karena itu, para sahabat  menjelaskan kepada para pengikut apa yang sulit mereka pahami dari Al-Qur'an dan apa yang perlu mereka pahami. Firman

Tuhan Yang Maha Esa.

Perlu disebutkan bahwa sebagian besar penafsiran Nabi dan para sahabat  setelahnya adalah dalam aspek penjelasan mereka tentang keanehan Al-Qur'an. Karena sebagian besar umat Islam pada waktu itu adalah orang-orang Arab fasih yang mengetahui sintaksis, makna, struktur kalimat, dan cara berbicara.

Orang Arab.

Dari mereka, kemudian, bahwa ilmu keanehan Al-Qur’an telah diketahui sejak zaman para sahabat, semoga Allah meridhoinya.

Al-Qur’an, maka carilah dalam puisi, karena puisi adalah koleksi bangsa Arab.” (4)

(1) Muslim bin Al-Hajjaj Abu Al-Hassan Al-Qushairi Al-Nisaburi, Sahih Muslim, investigasi oleh Muhammad Fouad Abdel-Baqi, Beirut, Dar Revival of Arab Heritage, Part 1, p.163 (2)

Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al-Jaafi, sumber sebelumnya, Bagian 6, hal.168 (3)

Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qushairi al-Nisaburi, sumber sebelumnya, bagian 1, hal.300. (4) Muhammad bin Jarir bin Yazid al-Tabarani, Menyempurnakan Athar dan Penjelasan Bukti Rasulullah dari Berita, Diselidiki oleh Mahmoud Muhammad Shaker Kairo, Al-Madani Press, Bagian 2, hal.637


Tidak mengherankan jika para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, setuju bahwa Al-Qur'an bebas dari kata-kata yang tercela, cabul, dan abnormal. Mereka tidak menyebut Al-Qur'an sebagai aneh karena mereka tahu itu tidak pantas.

untuk Kitab Allah swt. Mereka memahami bahwa keanehan dalam Al-Qur'an ini ada hubungannya dengan orangnya dan bukan berbicara.

Al-Khattabi berkata: “Al-Ghareeb” dikatakan dalam dua cara: satu: artinya dibuat-buat, tidak jelas artinya, dan dipahami hanya dari kejauhan dan penderitaan pikiran.

Kami mendapat kata dari bahasa mereka, dan kami terkejut karenanya.” (1) Yang dimaksud dengan keanehan Al-Qur'an adalah aspek yang pertama, dan tidak bisa dimaksudkan sebagai aspek yang kedua, karena yang dimaksud adalah kata brutal, tidak terpakai, dan abnormal, dan Al-Qur'an an tidak diragukan lagi bersih dari semua itu; Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Kitab yang telah dijelaskan tanda-tandanya secara rinci, bacaan bahasa Arab bagi orang-orang yang mengetahui (Fussilat: 3); Dan karena semua kata Al-Qur'an termasuk dialek Arab yang terkenal dan jelas yang memiliki arti fasih dalam bahasa, dan Anda tidak menemukan kata dalam Al-Qur'an Sebuah kata dan memiliki efek, dampak, dan retorika yang sama.Abu Hayyan Al-Andalusi berkata: “Bahasa Al-Qur'an dibagi menjadi dua bagian: bagian yang hampir berbagi pemahaman maknanya dengan orang Arab pada umumnya. dan mereka sendiri, seperti arti langit dan bumi dan di atas dan di bawah, dan bagian yang berkaitan dengan mengetahuinya dari mereka yang memiliki pengetahuan dan navigasi dalam bahasa Arab, dan dialah yang bertindak atas nama Kebanyakan orang mengklasifikasikannya dan menyebutnya aneh Alquran. (2) Banyak ulama telah menulis di bidang ini, dan kebanyakan dari mereka menyebut buku mereka "Gharib Al-Qur'an" atau "Tafsir" "Gharib Al-Qur'an" dan sejenisnya, dan mereka tidak melihat ada yang salah dengan penamaan ini dan mereka adalah master ilmu ini. Orang Asing Al-Qur'an” oleh Ata bin Abi Rabah (w. 114 H. Beberapa ulama mungkin mengaitkannya dengan Ibn Abbas, semoga Tuhan meridhoi mereka berdua 

(1) Hamad bin Muhammad Abu Suleiman Al-Khattabi, sumber sebelumnya, bagian 1, hal 70. (2)

Muhammad bin Youssef, terkenal dengan Abu Hayyan Al-Andalusi, mahakarya paling jahil, termasuk dalam Al-Qur'an dari yang aneh, diselidiki oleh Samir Al-Majzoub, Beirut. Kantor Islam, 1983 M, hal 40  

68 H), yaitu beberapa makalah dari koleksi bernomor (8/2815) di Perpustakaan Atef Effendi di Turki

(1)

(2)

dan ditulis pada abad ke-8 H) Kemudian datanglah Zaid bin Ali (w. 121 H) yang menulis “Tafsir Gharib

Al-Qur'an” Ini adalah buku yang disusun oleh Muhammad Ibn Mansour Ibn Yazid al-Kufi dengan rantai transmisi pada otoritas Zayd Ibn Ali. Ini menjelaskan arti kata-kata aneh dan tidak jelas dan kata-kata yang diturunkan dalam bahasa selain Quraisy.

Pada abad ketiga, tulisan-tulisan independent berlimpah dalam ilmu ini, termasuk buku "Metafora Al-Qur'an oleh Abu Ubaidah d. Al-Qur'an dan menafsirkannya, dan setelah metafora "Al-Qur'an" muncullah buku " Tafsir Gharib al-Qur'an” karya Ibnu Qutaybah d. 

Di antara buku-buku paling terkenal tentang Al-Qur'an aneh di abad keempat adalah buku "Nuzhat al-Qulub fi Tafsir Gharib al-Qur'an" oleh al-Sijistani (d. Bacaan yang memengaruhi makna, dan puisi dapat dikutip dalam menjelaskan kata-kata Al-Qur'an.

Kemudian dilanjutkan menulis Al-Qur'an yang aneh pada abad kelima dan ditandai dengan munculnya kitab-kitab yang bagus Diverifikasi sebagai buku “Al-Umdah fi Gharib al-Qur'an”

karya Makki bin Abi Thalib al-Qaisi (w. 437 H), dan penulisnya menyusunnya sesuai urutan surah Al-Qur'an, dan interpretasinya sangat singkat. Juga muncul di abad ini adalah buku Mufradat al-Falas al-Quran oleh al-Raghib al-Isfahani, dan al-Zarkashi dan al-Suyuti menganggapnya sebagai salah satu buku terbaik yang ditulis dalam seni ini. 'an, Riyadh, Dar Ibn al-Jawzi, edisi pertama, 1422 H, hal.

M Bagian 1, hal.18


Dan ahli tata bahasa, dan banyaknya infleksi dalam kata, dan dia mungkin mengutip puisi Arab (1) Kemudian, pada abad keenam, buku Tadhkirat al-Arib fi Tafsir al-Gharib muncul oleh Ibn al-Jawzi (w. Dia menutup ilmunya dan ketukan bagi yang inti pemahamannya, demikian penjelasannya

Penjelasan lengkap, dan buku ini dibedakan dengan mengandung kata-kata dan makna yang aneh (2)

Pada abad ketujuh, sebagian ulama mengorganisasikan keanehan al-Qur’an ke dalam ayat-ayat yang puitis, sehingga Ibnu al-Munir (w. Al-Fatihah hingga Surat Al-Nas (3). Juga disusun oleh Al-Dairini (w. 694 H) dalam bukunya "Al-Tayseer fi Al-Tafsir", yang merupakan Urjouzah lebih dari 3200 ayat untuk memperjelas apa yang tersembunyi dari makna Al-Qur'an dan menjelaskan banyak dari apa yang

merupakan kata-kata dan infleksi dan mengklarifikasi kata-kata aneh di cara yang menyederhanakan untuk orang lain Spesialis ilmu forensik mengerti siapa kata-kata ini (4)

Pada abad kedelapan, Al-Samin Al-Halabi (w. (756 H) menulis bukunya yang terkenal

tentang seni ini, yaitu “Umdat Al-Hafiz fi Tafsir Ashraf Al-Alfaz.” Dan kegunaannya, yang kaya

Hadits Aneh, Bukti Arab, dan Riset Tata Bahasa Arab Pada abad ke-9, Al-Hafiz Al-Irak (wafat 806 H) menulis bukunya “Alfiya fi Tafsir Gharib Al-Qur’an.” oleh (0)


(1) Muhammad Afif al-Din Dumyati, referensi sebelumnya, bagian 1, hal.115

(2) referensi sebelumnya, bagian 1, hal.174

(3) Referensi sebelumnya, Bagian 1, hal.197

(4) Referensi sebelumnya, Bagian 1, hal.202

(5) Ibid., Bagian 1, hal.235

Huruf-huruf abjad dan susunan kata-kata di dalamnya sesuai dengan urutan kamus dan penjelasan kata-kata yang memerlukan penjelasan dan penjelasan makna yang dimaksud pada tempatnya dalam konteks Al-Qur'an, dengan indikasi yang diwakilinya untuk penggunaan ini (1)

Dengan demikian, komposisi berturut-turut di semua abad hingga saat ini, dan di antara karya-

karya ini yang layak disebut adalah apa yang diterbitkan oleh Akademi Bahasa Arab di Mesir, yang merupakan "Kamus Kata-Kata Al-Qur'an yang Mulia". Ini adalah salah satu kamus terbaik dan terbaik dari kata-kata Al-Qur'an. Akar kata berasal dari itu, dan ayat di mana kata itu disebutkan, nomornya, dan surah, dan jika kata itu adalah disebutkan dalam lebih dari satu ayat dan surah, ditempatkan nomor ayat dan surahnya Pentingnya ilmu al-qur an Ilmu al-qur an merupakan salah satu ilmu yang pertama kali menulis. Karena berkaitan dengan makna Kitab Allah SWT, dan tidak diragukan lagi bahwa setiap Muslim ingin memahami Kitab Allah.

Dia mencarinya sampai dia tahu apa yang Tuhan inginkan dari ayat tersebut, dan ini muncul di masa Nabi, semoga doa dan damai Allah  besertanya, ketika dia bertanya kepada para sahabat tentang apa yang membingungkan bagi mereka dalam Al-Qur'an. dan sebagian besar dalam

aspek kata-kata aneh, sehingga pengetahuan ini menambah kehormatan bahwa Nabi adalah orang pertama yang menjelaskan Al-Qur'an yang aneh, jadi dia adalah pemimpin kami di Jalan ini, sehingga beberapa dari mereka biasa menulis di tepi Mushaf penjelasan kata-kata dan penjelasan mereka tentang apa yang mereka dengar dari Nabi, semoga doa dan damai Allah besertanya, sehingga orang-orang yang dating setelahnya akan mengira itu dari Al-Qur'an, jadi dia akan menghubungkan bahwa

bacaan untuk para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka, dan itu bukan bacaan, melainkan interpretasi dari dia untuk beberapa kata aneh dalam Al-Qur'an.Ini banyak kita temukan di buku-buku bacaan

abnormal.

Allah dan Para Sahabat pun ridho | Atas nama

mereka, mereka tertarik untuk memahami Al-Qur'an dan mengetahui maknanya, dengan bersandar pada pernyataan Nabi, semoga doa dan damai Allah besertanya, dan bahasa orang Arab di mana itu diturunkan.

(1) Ibid., Bagian 1, hal.250


Al-Qur'an, dan Ibnu Abbas ini, semoga Tuhan meridhoi mereka, berkata: “Aku tidak tahu apa yang Mahakuasa katakan: (Tuhan kami, putuskan antara kami dan orang-orang kami dengan benar, dan Engkau adalah yang terbaik dari keduanya. penakluk" [Al-A'raf: 89], sampai aku mendengar putri Dhul Yazan Al-Himyari berkata: Aku akan membukamu, artinya: Aku akan menuntutmu " (1) Dia juga berkata: "Aku tidak tahu apa yang menciptakan langit dan bumi sampai dua orang Arab datang kepadaku berdebat tentang sebuah sumur, dan salah satu dari mereka berkata: Aku yang menciptakannya, berarti aku yang memulainya.” (2) Seorang pria dari Hudhail mendatanginya, dan Ibnu Abbas berkata kepada kepadanya:

"Apa yang dilakukan si fulan? Dia berkata: Dia meninggal Dan dia meninggalkan empat dari anak-anaknya dan tiga dari penerusnya. Ibnu Abbas berkata: "Kalau begitu beri dia kabar gembira tentang Ishak, dan setelah Ishak Yakub." [ Hud: 71] Dia berkata: Putranya telah lahir.

Dan pengetahuan orang asing terhadap Al-Qur'an adalah dasar penafsiran dan

membantu untuk memahami Al-Qur'an, yang merupakan hal yang penting bagi penafsir dan harus,

jika tidak maka tidak diperbolehkan baginya untuk membahas penafsiran Al-Qur'an.

Kitab Allah Yang Mahakuasa, kata-katamu.” (4) Mujahid bin Jabr berkata: “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir untuk berbicara tentang aku.

Kitab Allah jika dia tidak menguasai bahasa-bahasa Arab.” (5) Dan Malik bin Anas berkata: “Aku tidak akan diberi seorang laki-laki Kitab Allah SWT ditafsirkan oleh orang yang tidak tahu dalam bahasa Arab, kecuali saya menjadikannya sebagai peringatan.

(6) Ibnu Faris berkata: “Ilmu bahasa Arab itu wajib bagi setiap orang yang berkaitan dengan ilmu Al-Qur'an, As-Sunnah, dan Fatwa karena suatu alasan sehingga tidak seorang pun dari mereka dapat melakukannya tanpanya, dan itu karena Al-Qur'an 'an diturunkan

dalam bahasa Arab, dan Rasulullah, semoga doa dan damai Allah besertanya, adalah bahasa Arab, jadi siapa pun yang ingin tahu apa yang ada dalam kitab Allah SWT dan apa yang ada di Sunnah Rasulullah , semoga doa dan damai Tuhan menyertainya, dari setiap kata atau sistem yang aneh

(1) Muhammad bin Abdullah Badr al-Din al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur'an, Beirut, Dar al-Ma'rifah, edisi kedua, 1994 M, Bagian 1, hal.205

(2) the sumber sebelumnya, halaman yang sama (3) Sumber sebelumnya, halaman yang sama.

(4) Muhammad bin Ahmad Syams al-Din al-Qurtubi, Kolektor Hukum Al-Qur'an, diselidiki oleh Ahmad al-Bardouni dan Ibrahim Atfayyesh, Kairo,

Dar al-Kutub al-Masriyyah, 1384 H, Bagian 10 , hal.111 

(5) Muhammad bin Abdullah Badr al-Din al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Bagian 1, hal 205.

(6) Ibid., halaman yang sama. 


Sungguh aneh bahwa dia tidak menemukan pengetahuan bahasa sama sekali. (1)

Abu Al-Walid bin Rusyd menjawab mereka yang berkata: “Dia tidak membutuhkan lidah orang Arab,” mengatakan: “Ini bodoh, jadi biarkan dia berpaling dari itu, dan bertaubat darinya, karena tidak ada urusan agama. dan Islam itu benar kecuali dengan lidah orang Arab. Telah diturunkan Ruh Tepercaya ke dalam hatimu agar kamu termasuk orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas) [Al-Shu'ara': 192-195] kecuali jika terlihat bahwa dia mengatakan itu karena kedengkian dalam agamanya, maka imam menghukumnya Mengatakan bahwa menurut apa yang dia lihat, dia berkata hebat.

(2) Dan pengetahuan tentang keanehan Al-Qur’an bertujuan untuk mengetahui makna kata-kata Al-Qur’an yang mungkin sulit untuk dipahami, sehingga tidak mungkin mengetahui makna kata-kata kecuali dengan itu.  Seni bagi penafsir itu perlu.” (3) Dan ketika sampai pada kondisi penafsir dan ilmu yang dia butuhkan, dia menghitung syarat pertama  yang harus tersedia bagi penafsir, lalu dia menyebutkan sebuah pepatah mulia dari Mujahid: “Tidak diperbolehkan bagi siapa saja

yang beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir untuk berbicara dalam Kitab Allah jika dia tidak berpengetahuan dalam bahasa.” Orang-orang  Arab.” Kemudian dia menambahkan, “Tidak cukup baginya untuk mengetahui beberapa salah satunya, karena kata itu boleh jadi umum, dan dia mengetahui salah satu arti dan arti yang lainnya.” (4)

Oleh karena itu, para ulama dari para pendahulu yang saleh memutuskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menafsirkan kata-kata Tuhan Yang Maha Esa sampai dia terbiasa dengan bahasa Arab dan kosa kata yang aneh. Oleh karena itu, para sahabat malu untuk berbicara tentang Al-Qur'an yang aneh. ketika mereka tidak menyadarinya, dan banyak jejak yang disebutkan tentang itu dari  mereka, di antaranya kami sebutkan: Apa yang dia sebutkan Al-Suyuti dalam "Itqan" ketika berbicara tentang pentingnya Mengetahui orang asing itu begitu: (e)

(1) Ahmed bin Faris bin Zakaria, Al-Sahibi dalam yurisprudensi bahasa, Beirut, Badran

Foundation for Printing and Publishing, hal. (3) Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti, Kesempurnaan Ilmu Al-Qur’an, diverifikasi oleh Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, Kairo, Otoritas

Umum Mesir untuk Buku, 1394 H. Bagian 2, hal.5

(4)

Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti, sumber sebelumnya, Bagian 4, hal.213 (5) Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti, sumber sebelumnya, Bagian 2, hal.



Bahwa Abu Bakar Al-Siddiq senang | Tuhan berkata tentang dia ketika dia ditanya tentang firman Tuhan Yang Maha Esa: {Dan buah-buahan dan apa saja} [Abs: 31] Dia berkata: "Langit mana yang akan menaungi saya, atau tanah mana yang akan membawa saya? Memang, saya katakan dalam sebuah buku Tuhan, apa yang saya tidak tahu." Dan atas otoritas Umar ibn al-Khattab, semoga Tuhan meridhoi dia, bahwa dia membacakan di mimbar, "Fakih dan Aya" [Abs: 31], dan dia

berkata: Kami sudah mengenal buah ini, jadi apa bapaknya? Kemudian dia kembali ke dirinya sendiri dan berkata: Ini menyenangkan Melasma, Omar, dan atas otoritas Saeed bin Jubair bahwa dia ditanya tentang perkataannya: "Dan kelembutan adalah dari kami [Maryam: 13]," dan dia berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Abbas tentang hal itu, dan dia tidak menjawab apa pun tentang itu. Diriwayatkan oleh Ikrimah atas otoritas Ibnu Tuhan atas nama mereka dan atas otoritas Ibnu Abbas, dia berkata, “Saya tidak tahu apa itu Al-Ghaslain, tapi saya pikir itu adalah Al-Zaqqum, dan jeda ini dalam kata-kata Al-Qur'an yang maknanya para Sahabat tidak tahu, semoga Tuhan meridhoi mereka, dan mereka adalah orang-orang Arab murni.Tuhan memastikan arti kata-kata dan merujuk pada buku-buku orang asing dengan Al-Qur'an dan tidak berbicara dalam kitab Tuhan hanya dengan dugaan dan pendapat dan tanpa pengetahuan.

Abbas berkata: Tidak, demi Tuhan, saya tidak tahu apa itu Hanan. Dan atas otoritas Ibnu Abbas bahwa dia berkata: Semua Al-Qur'an saya tahu kecuali empat kali pencucian ([Al-Haqqa: 36], dan Hanan ([Maryam: 13]), dan Uhuh ( [Hud: (75 ]), dan (dan Al-Raqim) [Al-Kahfi: 9].

Dia membuat kesalahan dalam memahami Al-Qur'an dan menyebabkan berbicara tentang Tuhan tanpa pengetahuan, amit-amit. Oleh karena itu pentingnya ilmu ini, karena kesalahan dalam memahami makna kata menyebabkan kesalahan dalam menafsirkan kata-kata Allah dan jauh dari kebenaran, dan kesalahan terjadi pada sekelompok ulama senior karena tidak memperhatikan untuk merenungkannya. kata-kata, dan itu disebutkan oleh Al-Zarkashi dalam Al-Burhan. Tentang makna firman-Nya: (Orang-orang yang lalai dari shalatnya) [Al-Ma`un: 5] Dia berkata:

Dialah yang berpaling dari shalatnya dan tidak tahu apakah itu syafaat atau shalat

Witir.Perkataannya: {tentang shalat mereka}, dan ketika Abu Al-Aaliyah tidak merenungkan surat di dalam dan sekitar, 


Al-Hassan mengingatkannya; Karena jika yang dimaksud adalah apa yang dipahami Abu Al-Aaliyah, maka dia akan mengatakan tentang doa mereka, maka ketika dia mengatakan tentang doa mereka) itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan itu melampaui waktu. Itulah sebabnya Ibnu Qutaybah mengatakan dalam sabda Yang Mahakuasa: ﴾Dan barangsiapa berpaling dari mengingat Yang Maha Pemurah, bahwa dia yang hidup dari saya hidup, mereka hidup ketika saya melihat,

dan mereka membuat kesalahan dalam hal itu, tetapi artinya adalah terungkap, tetapi itu salah karena dia tidak membedakan antara saya hidup untuk benda (1) dan saya hidup darinya.

()”  Dan Al-Azhari menyebutkan dalam Al-Tahdheeb bahwa Al-Akhfash membuat kesalahan ketika

dia menafsirkan perkataan Yang Maha Kuasa: Engkau, Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zalim. Yen ([The Prophets: 187] Al-Akhfash berkata: “Yaitu: Aku tidak akan Kami tetapkan hukuman baginya, karena dia telah berdosa dengan meninggalkan kaumnya, tetapi hanya

beberapa raja yang marah dan tidak membuat marah Tuhannya, Tuhan Yang Maha Esa lebih mengetahui dari itu.” (2) Kemudian Al-Azhari menyebutkan bahwa Abu Hatem Al-Sijistani menjawabnya dengann mengatakan: “Al-Akhfash tidak tahu apa dimaksud dengan: {Kami menghargai} dan dia pergi ke tempat kemampuan untuk suatu makna, jadi dia mengira dia akan merindukan kita. ”Dan dia tidak tahu kata-kata orang Arab sampai dia berkata: Beberapa ahli tafsir mengatakan dia ingin menginterogasi, apakah menurut Anda kami tidak akan dapat melakukannya mengukur tata bahasa.

Kemudian Al-Azhari mengklarifikasi apa yang benar, dan dia berkata: “Dan artinya: Apa yang telah

ditakdirkan Allah baginya untuk menahannya di dalam perut ikan paus, seolah-olah dia berkata: Dia berpikir bahwa kami tidak akan memaksanya. keraguan tentang kekuatan Tuhan adalah penghujatan, dan Tuhan telah melindungi para nabinya dari orang-orang seperti apa yang dilakukan oleh penafsir ini, dan dia hanya menafsirkannya Dia tidak mengetahui kata-kata dan bahasa orang Arab” (4) dan Al-Zarkashi menyebutkan bahwa Abu Ubaidah membuat kesalahan dalam menafsirkan perkataan Yang Mahakuasa: “Dan hati ibu Musa menjadi kosong” [Al-Qasas : 10], ketika dia berkata: kosong dari kesedihan karena dia tahu bahwa dia tidak tenggelam dan bahwa dia telah mengosongkan darah, yaitu tidak ada bahan bakar atau uang darah di dalam dirinya. Kemudian al-Zarkashi berkata: “Beberapa penulis mengatakan Abu Ubaidah melakukan kesalahan 

M Bagian 2 hal.449

(1) Muhammad bin Abdullah Badr al-Din al-Zarkashi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an Bagian 1, hal.294 (2) Al-

Akhfash Al-Awsat. Makna Al-Qur'an, diedit oleh Huda Mahmoud, Qaira'a, Kairo, Perpustakaan Al-Khanji, 1990

(3) Muhammad bin Ahmad bin Al-Azhari Al-Harawi, sumber sebelumnya, bagian 9, hal.39

(4) Sumber sebelumnya, Bagian 9, hal.39


Artinya, jika kata-katanya kosong dari kesedihan untuknya, dia tidak akan mengatakan:

(Jika kita tidak mengikat hatinya karena dia akan mengungkapkannya), maka Al-Zarkashi  enyimpulkan bab ini dengan mengatakan:

“Dan ini Bab ini sangat berbahaya, dan dari sini banyak pendahulu yang takut akan penafsiran Al-Qur'an dan meninggalkan apa yang dikatakan di dalamnya, berhati-hati agar tidak terpeleset. lidah dan ahli hukum dalam agama serakah dan tidak melebihi ini.” (1)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pentingnya ilmu keanehan Al-Qur'an adalah sebagai berikut: Ilmu ini dianggap sebagai inti munculnya ilmu tafsir Al-Qur'an yang Mulia, dan memang langkah pertama di dalamnya. 1- Pengetahuan ini diperlukan bagi penafsir dan membantunya untuk memahami dan merenungkan Al-Qur'an dan melindunginya dari Al-Qur'an Kesalahan dalam interpretasi.

Karena kesulitan dan keakuratannya, ilmu ini membuat para pendahulu yang saleh enggan membicarakannya tanpa sadar Kontrol pengetahuan keanehan Al-Qur'an Ada kontrol yang mengontrol pengetahuan keanehan Al-Qur'an, yaitu: Aturan pertama: Ukuran keanehan ekspresi Al-Qur'an adalah karena orang dan tidak Untuk pengucapannya, firman Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah digambarkan aneh, tetapi orang tersebut adalah orang yang tidak mengerti arti kata tersebut, sehingga dia terkejut karenanya, dan penulis buku-buku aneh Al-Qur'an tentu menyadari hal ini, karena mereka berbeda dalam tingkat pemahaman mereka tentang bahasa Arab, dan itu karena banyaknya kata yang digunakan di dalamnya, dan karena itu mereka berbeda dalam jumlah kata. komposisi. Ibnu al-Hā’im berkata:

“Yang aneh disandingkan dengan yang terkenal, dan itu adalah dua hal yang relatif, jadi kata itu bisa saja aneh.”  orang terkenal ditempat lain" (2)  (1) Muhammad bin Abdullah Badr al-Din al-Zarkashi, Al-Burhan in the Sciences of the Qur’an, Bagian 1, hal.



Ungkapan-ungkapan aneh dalam Al-Qur'an bersifat relatif, tergantung pada pandangan orang tersebut, sehingga dia heran dengan kata-kata tersebut, entah karena dia tidak tahu tentang tafsirnya, atau karena dia memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa, atau karena dia tidak terbiasa dengannya. dia.Orang Arab, dan sejenisnya, adalah orang yang membuat kata-kata ini asing baginya.Salah satu alasan mengapa keanehan itu relatif bagi seseorang adalah karena bahasa Arab adalah bahasa terluas dari semua Bahasa di dunia, dan orang-orang berbeda-beda. sejauh mana pemahaman mereka tentang itu, sehingga mereka mungkin tidak mengetahui beberapa kata, dan dalam hal ini, Imam As-Syafi'i berkata: "Dan lidah orang Arab adalah lidah yang paling luas."

Kebanyakan dari mereka adalah verbal, dan kita tidak tahu bahwa mereka mencakup.

Itu diajarkan oleh manusia selain nabi.” (1) “Dengan segala kendali kedua: Penafsiran istilah Al-Qur'an yang aneh bukan hanya penafsiran linguistik, tetapi harus memperhitungkan kemungkinan kata tersebut. memiliki arti yang berbeda Dan tidak dapat mengetahuinya Ini hanya dengan melihat buku-buku tafsir yang luas dan bahasa Arab Al-Suyuti berkata: “Dan setiap” adalah kata yang mengandung dua arti dan seterusnya, maka itu adalah kata yang tidak diperbolehkan bagi non-ulama untuk ijtihad di dalamnya, dan mereka harus mengandalkan bukti dan bukti tanpa pendapat belaka. di antaranya

adalah realitas linguistik atau adat, dan yang lainnya adalah realitas hukum - jadi beban hukum lebih tepat kecuali ada bukti kehendak linguistik, seperti dalam berdoa untuk mereka bahwa doa Anda melegakan mereka. ([At-Taubah: 103], kalaupun salah satunya adalah adat dan yang lainnya adalah bahasa, maka beban adatnya terlebih

dahulu karena hukumnya wajib. Jika keduanya saling bertentangan, dan tidak mungkin untuk mengartikannya dalam satu kata, seperti membaca untuk haid dan bersuci, dia berjuang dalam apa yang dimaksud dengan tanda-tanda yang menunjukkannya, sehingga apa yang

dia pikirkan adalah apa yang Tuhan Yang Maha Kuasa maksudkan dengan haknya. Ucapan, dan jika tidak saling eksklusif, harus ditafsirkan oleh penyelidik, dan ini akan lebih informatif dalam keajaiban

Edisi pertama, 2003 M, hal.358 (1)

Muhammad bin Idris al-Shafi’i al-Risala, Cairo, Mustafa al-Bab al-Halabi, investigasi oleh Ahmed Shaker, 1358 H, hal.34



Sebuah kata tunggal dapat muncul di lebih dari satu tempat dan di setiap tempat itu memiliki arti yang berbeda dari maknanya di tempat lain, dan yang membantu untuk mendefinisikan banyak arti adalah konteks ucapan. Karena pentingnya konteks dalam mendefinisikan makna, al-Zarkashi menganggap al-Mufradat karya al-Raghib al-Isfahani sebagai buku terbaik al-Gharib karena al-Raghib mencari makna dari konteks.

Dan kefasihan, kecuali jika itu adalah bukti dari kehendak salah satu dari mereka.” (1) Aturan ketiga: Makna ungkapan Al-Qur'an ditentukan oleh makna dan konteks yang tepat dalam ungkapan Al-Qur'an.

semantik kata-kata khusus (2) Hubungan ilmu al-qur an dengan ilmu-ilmu lain Ilmu

al-qur an, meskipun merupakan ilmu independen yang ditangani oleh para sarjana dan dipilih

sebagai penulis, tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya karena untuk kebutuhannya akan klarifikasi Yang dimaksud dengan kata-kata aneh termasuk tafsir tradisional, karena arti kata-kata aneh dapat dijelaskan dalam Al-Qur’an atau Sunnah atau ucapan para sahabat, semoga Allah meridhoi mereka. Alasan wahyu, karena mereka membantu untuk memahami secara akurat arti kata-kata aneh dalam Al-Qur'an, dan memunculkan makna yang tidak sesuai dengan alasan wahyu mereka.

Ilmu sintaksis, karena situs sintaksis yang berbeda mengubah makna, sehingga ilmu sintaksis membantu memperjelas makna kata yang tepat, terutama dalam kata kerja.

Ilmu tentang peristiwa, karena mengetahui peristiwa antara kata dan Ayat membantu dalam menentukan makna yang paling benar. Ilmu fikih, karena menentukan makna hukum atau adat kata-kata Ini dapat dibedakan dari makna linguistic (1) Abd al-Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Din al-Suyuti,

Kesempurnaan Ilmu Al-Qur’an, Bagian 4, hal.


Ilmu bacaan, karena kemajemukan bacaan bermuara pada status kemajemukan ayat, yaitu setiap

aspek bacaan memiliki pertimbangan dan pemaknaan tersendiri yang mungkin berbeda dengan

pemaknaan aspek bacaan lainnya, sehingga menyebutkan bacaan membantu dalam memperluas makna dan mendefinisikannya secara komprehensif.mulai dari itu dapat mengubah makna, Mempertimbangkan jeda saat membaca Al-Qur'an, yang membantu menentukan makna yang dimaksud dari ungkapan tersebut Alquran.

Kitab-kitab Al-Qur’an Aneh Pembaca kitab-kitab Al-Qur’an aneh menemukan bahwa kitab-

kitab tersebut memiliki karakter khusus yang membedakannya dari yang lain, karena merupakan ringkasan dari sebagian dari apa yang ada di dalam kitab-kitab tafsir. dibahas dalam kitab-kitab tafsir. Pembaca menemukan bahwa kitab-kitab Gharib Al-Qur'an berbeda dengan kitab-kitab makna Al-Qur'an yang pertama terbatas pada beberapa kata yang dianggap aneh oleh orang tersebut

atau yang mencurigakan keanehannya, dan yang kedua adalah berkaitan dengan kata-kata, struktur dan metode Al-Qur'an berbeda dari buku-buku kamus Al-Qur'an yang terakhir mengumpulkan semua kata-kata Al-Qur'an dan menyebutkan arti dari kata-kata ini dan tidak terbatas pada kata-kata aneh. Perlu disebutkan bahwa kitab-kitab Al-Qur'an yang aneh dalam hal susunannya terbagi menjadi dua bagian: Bagian pertama: kitab-kitab yang urutan kata-katanya berasal dari urutan surah,

jadi nama surahnya disebutkan dan kemudian yang aneh disebutkan dari kata-katanya.

The Qur'an" oleh Abi Ubaidah, dan "Tafsir Gharib al-Qur'an" oleh Ibn Qutayba. Bagian kedua: buku-buku yang kata-katanya disusun menurut huruf-huruf kamus, dan di antara buku-buku yang mengikuti jalan ini adalah kitab “Gharib al-Qur'an” karya al-Sijistani yang dianggap pertama


Yang mengikuti pendekatan ini, dan kitab Mufradat Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Isfahani, dan kitab “Tuhfat al-Arib” karya Abu Hayyan. Berikut penjelasan singkat tentang buku-buku tersebut:

-1

metafora Al-Qur'an Penulisnya adalah Abu Ubaidah Muammar bin Al-Muthanna Al-Taymi, dengan loyalitas kepada Al-Basri, ahli tata bahasa, penulis, ahli bahasa, dan dia lahir pada tahun 110 H, dan ayahnya adalah seorang Yahudi dari Bagarwan, dari Persia, bekerja sebagai pencelup, dia meninggal pada tahun 209 H, dan dikatakan bahwa tidak ada yang menghadiri pemakamannya.Bukunya menjelaskan arti Al-Qur'an, surah dan ayat, dan bahwa surah Asmaa, kemudian dia menyebutkan bahwa Al-Qur'an adalah bahasa Arab, dan itu datang ke metode orang Arab dalam berbicara,

sehingga mereka mengabaikan pertanyaan tentang maknanya, kemudian dia mulai berbicara tentang metafora - atau yang aneh - dalam surah dengan surah, dan dia memberi contoh tentang apa yang ada dalam ucapan orang Arab dan Al-Qur'an datang bersamanya dalam hal singkatan, penggunaan alat, pengabaiannya, dan menghadapi Adverb untuk sebaliknya. Misalnya, ketika dia menjelaskan ucapannya, Yang Maha Tinggi: Dengan firman dari Tuhan ([Al-Imran: 39]), Dia berkata: “Yaitu, dengan sebuah buku dari Tuhan, orang Arab berkata kepada seorang pria: Nyanyikan aku perkataan ini dan itu, i. Allah telah menghilangkan pendengaran dan penglihatanmu [Al-An'am: 46] Dia berkata: “Itu adalah perumpamaan untuk itu.” Jika Allah menulikan pendengaranmu dan membutakan pandanganmu, maka Orang Arab berkata, "Tuhan telah mengambil." 

Si anu, dan si anu melihat si anu.” (3) Dan Abu Ubaidah tidak memperhitungkan sintaksis, meskipun dia sangat ahli di dalamnya. kitab menyebutkan makna hukum yang ditransmisikan dan linguistik, dan dia mungkin menyebutkan bukti puitis, dan ini adalah fitur dominannya dan salah satu karakteristiknya, termasuk interpretasinya terhadap firman Yang Maha Kuasa: {a path}

[Al-Fatihah]: 5], Dia berkata: "Jalan, jalan yang jelas." Dia berkata: "... maka dia menghalangi dari jalan jalan yang lurus." Jarir berkata: Amirul Mukminin mendengar Di jalan... Jika sumber daya bengkok, mereka lurus. (2)

(1) Muhammad Afif al-Din Dumyati, kumpulan wewangian dalam kitab tafsir, bagian 1. (2)

Abu Ubaidah Muammar bin Al-Muthanna, Metaphor of the Qur’an, investigasi oleh Muhammad Fouad Sezgin, Cairo, Al-Khanji Library, Bagian 1 (3) Sumber sebelumnya, Bagian 1, hal 192

(4) Sumber sebelumnya, Bagian 1, hal.24


Dan dalam firman-Nya, Datanglah: (untuk memisahkan apa yang mereka lakukan) [Al-Imran (113),

Dia berkata: Metafora melakukan kehormatan, tuduhan, dan klaim, dan dikatakan: Balsem yang kamu lakukan untuk dirimu sendiri. Kesalehan yang ditemukan dan kutukan yang suci Penafsiran Alquran yang aneh, penulisnya adalah Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Majeed bin Muslim bin Qutayba al-Dinuri.

Penulis, ahli hukum, modernis, sejarawan Arab. Ia lahir pada tahun 213 H dan menimba ilmu di Bagdad di tangan para ulama terkenalnya, dan ia terpilih sebagai hakim kota Dinoor dari Persia, kemudian ia Kembali Setelah beberapa lama ke Bagdad, dan menetap di sana. Kemudian beliau wafat pada tahun 276 H  Pendekatannya Ibnu Qutayba memperoleh buku ini dari kitab-kitab komentator dan menulis Dia memulainya dengan pengantar di mana dia mengklarifikasi pendekatan dan metode interpretasinya dan sumber-sumber yang dia manfaatkan, kemudian dia mengadakan bab untuk menyebutkan nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifatnya serta interpretasi dan turunannya, dan dia mengikutinya dengan menyebutkan kata-kata yang sering diulang-ulang dalam buku itu, kemudian dia mulai menjelaskan Al-Qur'an yang aneh tanpa menafsirkan masalahnya, disusun menurut surah-surah Al-Qur'an. Cara penyajian buku ini adalah dengan ringkas, jelas, dan indah, dan dia biasa mengutip kata-kata yang perlu dikutip, dan dia tidak terlalu menunjukkan huruf yang digunakan, dan dia tidak mengisi bukunya dengan penjelasan gramatikal atau menyebutkan rantai penularan.

Ibnu Qutayba dengan sengaja mengumpulkan kata-kata yang sering disebutkan dalam Al-Qur'an, sehingga ia menafsirkannya dalam bab tersendiri, yaitu bab tentang tafsir huruf-huruf yang banyak terdapat dalam kitab, agar tafsirnya yakin mengembalikannya pada setiap tempat di mana mereka disebutkan. Dan agar tidak sulit bagi pencari makna untuk menemukannya Itu dari Al-Qur'an. Contoh yang disebutkan dalam kitabnya: Pernyataannya tentang firman Yang Maha Kuasa: (Yang Abadi) (Al-Ikhlas: (2).(1)

Sumber sebelumnya bagian 205, 1, dan saksi dalam ayat ini menghapus pengakuan di arti dari tuduhan dan tuduhan, dan asalnya adalah pengurangan sepotong Dari dugaan tersebut, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, The Collector of the Rulers of the Qur’an, Beirut, Dar Al-Fikr, Part 7, p.64


Dia berkata: "Tuan yang otoritasnya telah berakhir, karena orang tabah dalam kebutuhan mereka."

Penyair berkata: (1) Dengarkan baik-baik, karena kamu adalah tuannya, Samad (2) Dan Ikrimah dan Mujahid berkata: Dia adalah orang yang tidak memiliki perut. Dia berkata: {mereka didistribusikan}: yaitu: mereka mendorong, dan asal distribusi adalah pengekangan dan larangan. mereka yang kuat akan ditolak

Nuzhat al-Qulub fi Tafsir Gharib al-Qur’an Penulisnya adalah Imam Abu Bakar Muhammad bin Aziz al-Sijistani, beliau adalah seorang penulis yang berbudi luhur Dengan rendah hati, dia mengambil dari Abi Bakr Ibn Al-Anbari, dan dia menulis bukunya tentang Gharib Al-Qur'an dan membacakannya

kepada syekhnya Ibn Al-Anbari, dan mengoreksi beberapa tempat di dalamnya. Ia meninggal pada tahun 330 H Pendekatannya: Abu Bakar Al-Sijistani menyusun bukunya dalam urutan leksikal, yaitu A - B - T - D, dan dia dianggap yang pertama melakukan itu dari buku-buku orang asing Al-Qur'an. menjadi tiga bagian, dan dia datang dengan kata-kata terbuka pertama dalam satu bab, lalu yang digabungkan, lalu yang terputus-putus, dan dia menyusun kata-kata dari setiap bab. Atas urutan surah Al-Qur'an, tanpa menyebutkan itu atau nama surah Dia menyisipkan huruf-huruf tambahan ke dalam materi kata-kata tanpa mengembalikannya ke asal usulnya, jadi kata itu Adbar, misalnya, ditemukan di Bab al-Hamza Al-Sijistani membatasi dirinya pada makna linguistik yang tampak

dari frasa ketika itu memiliki makna kiasan atau dating dengan cara yang mungkin tidak dipahami oleh pembaca biasa. Misalnya, Yang Mahakuasa berkata: Dan kepada Allah masalah

dikembalikan. "[Al -Baqarah: 210] ] Jika pembaca ingin memahaminya, ia mencari nuansa

(1) Rumah yang penting. Lihat: Ibn Manzoor, sumber sebelumnya, bagian 3, hal.258 (2)

Saksi dalam ayat ini mengandung kata “Samad” di dalamnya, artinya guru yang kegelapannya telah berakhir.

(3) Abdullah bin Muslim bin Qutayba Al-Dainouri, Gharib Al-Qur’an, diselidiki oleh Ahmed Saqr, Dar Al-Kutub Al-Alami, hal.542.


Di pintu Al-Taa Al-Madmoumah, dan Al-Ghanam di pintu Al-Ghain Al-Fatahah, maka dia menemukan naungan pertama yang terhormat, yaitu apa yang menutupi dan menutupi, dan yang kedua berarti awan putih dari para putri milik mereka, yaitu menutupinya, dan dia tidak menemukan yang lain. Salah satu kelebihan buku ini adalah bahwa Al-Sijistani jelas atau terjangkau oleh karya pikirannya atau transmisinya, dan dia dapat mengarahkan bacaan yang ada dalam makna dan dia dapat

mengutip puisi dalam memperjelas kata-kata Al-Qur'an, dan dia mengkristalkan kata-kata orang Arab dengan wajah dan padanannya Di antara contoh-contoh yang disebutkan dalam buku ini adalah pernyataannya tentang pernyataan Yang Mahakuasa, Bari, yang mengatakan: “Dua orang perkasa, berbadan kuat, perkasa yang menguasai, perkasa yang menguasai, dan perkasa yang sombong, sebagaimana firman Yang Maha Kuasa: ( Dan Dia tidak menjadikanku tiran yang celaka” (Maryam (32)), dan tiran yang perkasa sebagai Yang Mahakuasa: Yang perkasa) (Al-Shu’ara 130) yaitu, phthalene. Kosakata kata-kata Alquran, penulisnya adalah Raghib Abu al-Qasim al-Hussain bin Muhammad bin al-Mufaddal al-Asfa'I  atau al-Asbahani, penulis, ulama terkenal dan singular pembebasan. Dia berasal dari Isfahan dan hidup Di Bagdad beliau menulis beberapa buku tentang tafsir, sastra dan retorika, sebelum meninggal pada tahun 503 H, dan disebutkan pada tahun

502 H, dan disebutkan pada tahun 452 H. Kemungkinan besar dia, semoga Allah merahmatinya, meninggal pada tahun 425 H.

Metodologinya adalah buku ini yang terkenal, tak tertandingi, dan merupakan perkembangan yang luar biasa dalam perjalanan kepenulisan dalam Al-Qur'an yang aneh; Karena dia berpegang pada susunan leksikal sesuai dengan akar atau kandung linguistik, dan tidak terbatas pada orang asing, tetapi menjelaskan seluruh kosa kata Al-Qur’an.

(1) Muhammad bin Aziz al-Sijistani, Nuzhat al-Qulub fi Gharib al-Qur’an, diselidiki oleh Ahmad

al-Awwal. 1993 M, hal.166

(2) Sumber sebelumnya, hal.245

| Investigasi dalam makna Al-Qur'an


Al-Raghib Al-Isfahani membuat bab untuk setiap huruf abjad, mengatur mata pelajaran di setiap bab sesuai dengan huruf kedua dan ketiga. Apa yang diturunkan darinya dalam Al-Qur'an, mencoba mengumpulkan jumlah ayat terbanyak di mana kata itu disebutkan dan menunjukkan artinya. Al-Raghib mencoba untuk menyoroti makna metonimik dan apa adanya, dan dia tidak gagal, dan dia sangat memperhatikan konteksnya, jadi dia mengeluarkan darinya batasan tambahan pada orang-

orang dari bahasa tersebut.

Di antara contoh yang disebutkan dalam bukunya: Pernyataannya tentang kata “berjemur”, dia berkata: Al-Saf’: mengambil tamparan Kuda berarti hitamnya ubun-ubunnya, Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman: ﴾ Mari kita tiup ubun-ubunnya. Dan seorang wanita yang berwarna gelap.” (1) Dan

dari situlah penjelasannya tentang kata “qunoot”. Di mana air mengalir, Dikatakan bahwa ini adalah analogi saluran dalam garis dan ekstensi, dan dikatakan bahwa asalnya dari pendinginan benda yang saya selamatkan, karena saluran disimpan untuk air, dan dikatakan: Itu dari mereka mengatakan bahwa dia memadamkannya, yaitu: dicampur dengan itu. Melanggar pakaian adalah

melanggar pakaian dan menggoda dekat dengan melanggarnya, dan dipinjam untuk melanggar perjanjian. Yang Mahakuasa berkata: {Dan jika mereka melanggar sumpah mereka} [Tobat: 12], (Kemudian mereka akan menegur) [Al-A'raf: 135] Ketika orang-orang berbuka puasa, dikatakan: Nakitha Penyair berkata, “Kapan ada urusan bagi wanita yang sudah menikah? ” (3)

(1) Al-Hussein bin Muhammad, dikenal sebagai Al-Raghib Al-Isfahani, sumber sebelumnya, hal.413.

(2) Sumber sebelumnya, hal.686

(3) Sumber sebelumnya, hal.822

Investigasi makna Al-Qur’an | 81


Mahakarya orang paling bodoh, termasuk apa yang ada di dalam Al-Qur'an dari yang aneh, penulisnya adalah imam yang terhormat, ulama Akbar al-Din Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf Ibnu Hayyan al-Andalusi al-Gharnati: al-Hayani: dikenal sebagai Abu Hayyan al-Andaalami. Ia lahir di Mutanarish, dekat Granada, pada tahun 654 H, dan kematiannya di Kairo.

Tahun 745 H Pendekatannya Buku ini adalah ringkasan yang berguna dalam mendefinisikan makna Alquran, dan Abu Hayyan memulainya Andalusi Buku ini dengan pengantar yang berharga di mana dia menjelaskan apa yang dimaksud dengan keanehan Al-Qur'an dan alasan kemunculannya. Di dalamnya, Abu Hayyan membatasi dirinya pada penjelasan linguistik, dan apa yang terkait langsung dengan makna Alquran, dan dia tidak menyebutkan ayat-ayat yang menyebutkan kosa kata yang ditafsirkan, dan dia tidak merujuk pada penafsir atau Di antara contoh yang disebutkan dalam bukunya adalah penjelasannya tentang istilah “Abel”, Abu Hayyan mengatakan: “Ababil adalah kelompok dalam diferensiasi, yaitu lingkaran, lingkaran, salah satunya adalah Eyalah, Iol, dan

Ibil. Itulah pernyataan beliau tentang kata “Ma'an”. Adapun Islam, itu adalah zakat dan ketaatan.


Ahli Bahasa Abu Hayyan menyusun kitab ini dalam tatanan leksikal radikal, yaitu dengan memperhatikan asal-usul kata, tetapi dibedakan dari kitab-kitab lain menurut urutan huruf pertama dan kemudian huruf terakhir. Misalnya, kosakata Al-Qur’an yang diawali dengan huruf “ra” semua dimasukkan ke dalam “bab ra”, kemudian disusun menurut huruf terakhir tanpa memperhatikan pengisiannya.  Dan kenali, "kapten": implisit, dan kapten berada di atas kopral.

(1) Abu Hayyan Al-Andalusi, mahakarya paling terpelajar, termasuk para pembacanya

Al-Awwal 1983 M, hal

49 (2) Sumber sebelumnya dari 281

(3) Sumber sebelumnya dari 291